Jumat, 03 Juli 2015

Sistem Pemerintahan Kolonial Belanda di Keresidenan Palembang (1825-1942) Bagian 1

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Geografis Keresidenan Palembang
2.1.1 Gografis Keresidenan Palembang
                Keresidenan Palembang termasuk dalam wilayah Sumatera Selatan, di sebelah barat dibatasi oleh daerah Bengkulu, di sebelah utara Jambi, dan daerah Bangka dan Laut Jawa di sebelah selatan. Selain itu, di sebelah barat daerah itu terdapat Bukit Barisan yang membentang dari arah barat daya menuju tenggara. Luas wilayah Palembang pada abad ke-19 adalah 85.918 km (Supriyanto, 2013:29).
            Secara geografis Palembang terletak pada 20 58’ lintang selatan dan 1050 bujur timur (dari greenwich) dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari permukaan laut. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Palembang merupakan wilayah yang relatif rendah. Keadaan cuaca di Palembang tidaklah teratur seperti di Pulau Jawa. Hujan yang sangat deras kadang-kadang turun di bulan-bulan yang harusnya terjadi musim kemarau. Pada bulan Agustus sampai April biasanya angin bertiup dari barat daya dan barat laut, inilah waktu yang baik untuk ke pedalaman Palembang, karena pada bulan ini volume air sungai berlayar cukup banyak dan baik untuk pelayaran kapal (Sevenhoven. 1917:11)
                Mengenai topografis di kota Palembang, sebagian wilayahnya di genangi oleh air, baik sewaktu hujan turun maupun sesudah hujan turun secara terus menerus. Dikarenakannya, wilayah Palembang memiliki tanah yang berlapis alluvial. Sungai Musi yang terletak di Ibukota Palembang memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Palembang. Kawasan yang berada di belahan utara Musi merupakan cekungan dangkal, sedangkan di belahan selatan Musi merupakan cekungan dalam. Sementara itu,  di belahan selatan Musi, lebih dominan berupa rawa-rawa dan di belahan utara Musi berupa  dataran yang tinggi dan kering (Zubir, dkk 2012:18).
                Palembang secara rutin juga terkena dampak dari pasang-surut air laut yang datang melalui Sungai Musi. Secara berkala selama beberapa minggu dalam setahun akan terjadi pasang-surut yang membuat beberapa wilayah Ibukota Palembang tergenang air. Hal ini dipengaruhi oleh wilayah Palembang yang terletak kurang lebih 95 km dari selat Bangka, namun siklus air yang lebih besar biasanya datang setiap 5 tahun sekali di mana debit air yang mengalami pasang lebih besar dari tahun-tahun biasanya. Namun karena telah hafal dan mengerti mengenai sikllus air pasang laut ini, masyarakat Palembang umumnya sudah siap dengan datangnya air pasang tersebut (Irwanto dkk, 2010:7).
Di daerah pedalaman yang masih merupakan wilayah Keresidenan Palembang terdapat kawasan dataran tinggi bagian barat, khususnya yang terletak antara hulu Sungai Rawas bagian utara dan Sungai Komering di selatan dengan dataran tinggi Gunung Dempo (3.159 meter), merupakan hulu dari sungai-sungai Batanghari Sembilan. Karena tidak terpengaruh pasang surut air laut pantai timur, tanah-tanah dataran tinggi tampak subur dan sangat cocok untuk pertanian ladang dan sawah. Agak ke selatan terbentang terbentang dataran tinggi Pasemah di antara hulu Sungai Lintang dengan Sungai Lematang. Pertanian ladang yang digarap di sekitar kaki Gunung Dempo dapat berkembang dan mampu menghasilkan berbagai jenis hasil hutan dan tanaman kopi. Di sisi selatan lainnya terdapat dataran tinggi Semendo yang sejajar dengan dataran tinggi Ranau, sedikit menjorok ke arah timur rangkaian Bukit Barisan berbatasan dengan daerah Lampung di ujung paling selatan Pulau Sumatera (Zed, 2003:29). 
            Akan tetapi, untuk melihat karakteristik lingkungan fisik daerah Palembang, dapat dijadikan pola “iliran” dan “uluan” (dua istilah yang digunakan untuk membedakan kawasan dataran rendah dan dataran tinggi Palembang). Sebagai masyarakat perairan sungai, sudah barang tentu hidup dan akrab dengan sungai-sungai yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Palembang sudah lama memakai istilah ilir dan ulu untuk menunjukkan letak suatu tempat sesuai arah aliran sungai di tengah-tengah mereka. Oleh pemerintah kolonial, konsep iliran dan uluan dirumuskan kembali untuk membagi daerah aliran sungai terpenting dalam berbagai daerah administratif berdasarkan pembagian hilir dan hulu (Peeters, 1997:37).
Di kedua kawasan itu, sampai menjelang 1860-an seiring dengan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan Belanda di daerah pedalaman sampai penaklukan Pasemah—yakni salah satu masyarakat kesukuan yang berdiam di kawasan uluan, hampir tidak ditemukan jalan darat. Sistem sungai merupakan jaringan komunikasi utama. Itu pula alasan bahwa mayoritas penduduk menetap di tepi sungai-sungai besar yang banyak terdapat di Palembang. Selain itu, karena keberadaan sungai-sungai inilah, maka pada masa pemerintahan Keresidenan Palembang julukan Batanghari Sembilan masih saja melekat karena keberadaan sungai-sungai besar ini. Julukan ini merujuk ke sembilan sungai utama yang melintasi wilayah Palembang. Sembilan sungai itu adalah Sungai Klingi, Bliti, Lakitan, Rawas, Rupit, Batang Leko, Ogan, dan Komering yang akan bermuara pada sungai Musi (Faille, 1971: 16). Sembilan sungai tersebut berhulu di gunung-gunung yang terdapat di Bukit Barisan.
Sungai-sungai yang mendominasi iliran tersebut sudah lama terikat dengan dunia perdagangan yang berpusat di Ibukota Palembang. Semua sungai itu tidak hanya berfungsi sebagai sarana utama penghubung antara kawasan iliran dengan daerah uluan di pedalaman dengan daerah iliran, tetapi juga memberikan kehidupan pokok bagi penduduk setempat. Akan tetapi, karena itu juga, iliran memang rawan banjir akibat tekanan sungai-sungai yang ada. Penduduk setempat dapat dikatakan amat tergantung pada keadaan alam. Oleh karena sebagian besar sifat tanah selalu basah dan rawan banjir itulah, maka penduduk yang berada sekitar dataran rendah aliran sungai hampir tidak akan pernah bisa berhasil mengembangkan sistem pertanian ladang (tanah kering) seperti apa yang sering dilakukan oleh penduduk daerah dataran tinggi (Sevenhoven, 1917:13).
            Apabila hubungan iliran dengan Ibukota Palembang relatif mudah, maka hubungan uluan dengan kota Palembang tidak demikian. Perjalanan dari Ibukota ke hulu sungai biasanya memakan waktu berminggu-minggu. Di samping itu, perhubungan dengan Ibukota tersebut sangat tergantung dengan musim. Permukaan air di musim hujan tinggi yang membuat sungai-sungai dapat dilayari sampai ke hulu, sedangkan permukaan air di musim kemarau rendah membuat pelayaran di uluan dihalangi oleh batang pohon dan beting (Peeters, 1997: 57).

2.1.2 Keadaan Alam
            Pada bagian timur laut Palembang terdiri dari dataran rendah dan pada bagian pantai timurnya berawa-rawa (10-100 m), dan pada lokasi barat daya merupakan daerah berbukit-bukit sampai ke lereng Bukit Barisan, di mana kita dapati Gunung Dempo (3173 m), Gunung Seblat (2383 m) dan gunung batak (2817m). Kemudian pada bagian tengah terdapat dataran rendah aluvial dengan berbukit-bukit (100-500 m), yang merupakan penghubung antar kedua daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa keadaan Palembang dan daerah sekitarnya terdiri dari dataran rendah aluvial, dan di beberapa tempat daerah seberang ulu dan daerah seberang ilir barat berupa daerah yang berawa-rawa. Daerah aluvial yang terdiri atas dataran rendah dengan ketinggian 5-10 meter di atas permukaan laut, terutama daerah di sebelah Utara Palembang. Sedangkan daerah Timur-Laut dan daerah bagian Barat berketinggian 22 meter dari permukaan laut (Abdullah dkk, 1984/1985:14)
Di Palembang terdapat sungai besar, yaitu Sungai Musi yang memilik panjang 550 km, .yang merupakan pemisah antara daerah Hlir dan Hulu di Ibukota Palembang. Sungai Musi juga merupakan induk Sungai Beliti, Ogan, Lematang, Lakitan, Komering, Rawas, Rupit, Kelingi dan Batang Leko. Di samping itu sepanjang 450 km dari Sungai Musi dapat dilayari dengan kapal-kapal berukuran besar. Selain itu, di pinggiran Sugai Musi digunakan sebagai pusat pertemuan para pedagang dari berbagai daerah pedalaman. Itulah sebabnya Ibukota Palembang menjadi ramai sebab memiliki jalur lalu lintas yang menghubungkan antara daerah-daerah pedalaman dengan pusat (Supriyanto, 2013: 32-33).




2.2  Demografi
            Setelah dikuasai pemerintah kolonial Belanda, Palembang menjadi wilayah yang semakin ramai. Situasi ini dikarenakan Palembang semakin dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai pusat perekonomian di Sumatera Selatan. Kenyataan ini semakin diperkuat dengan hasil statistik yang menunjukkan semakin bertambahnya produksi dari hasil bumi seperti karet, kopi, dan banyaknya hasil tambang yang melimpah di wilayah Sumatera Selatan. Keadaan inilah yang menggambarkan semakin berkembang dan sejahteranya masyarakat Palembang pada masa itu (Irwanto, 2011:77).
Keramaian yang terjadi di Palembang ini dapat dilihat dari perkembangan penduduk yang ada di Palembang. Sekitar pertengahan Abad ke-19 Kota Palembang memiliki jumlah penduduk hampir mencapai angka 50 ribu jiwa. Dalam buku Djohan Hanafiah yang mengutip data dari J.W.J Wellan (Zuis Sumatra Economische overzicht), Angka ini selalu bertambah per-lima tahun sekali. Dalam kurun waktu tahun 1880-an, yang menjadi awal skup temporal penelitian ini jumlah penduduk Kota Palembang diperkirakan mencapai angka 54.538 ribu jiwa. Perhitungan Penduduk pada masa itu, dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda (Hanafiah, 1998:17).
            Penduduk Ibukota Palembang pada tanggal 1 Januari 1855 berjumlah 41.843 jiwa yang terdiri 11.349  orang laki-laki dan 14.464 orang perempuan, sisanya adalah anak-anak. Dari jumlah tersebut, 37.565 orang adalah penduduk pribumi Palembang, 102 orang Eropa, 2.504 orang Cina dan 1.672 orang Arab dan bangsa-bangsa timur lainnya (Amran dalam Berita Pagi, Minggu 25 November 2012).
Namun seiring perkembangan zaman, penduduk di wilayah Palembang terus mengalami pertambahan Jumlah penduduk. Keresidenan Palembang dalam tahun 1915 diperkirakan 754.700 jiwa yang terdiri dari: 742.000 jiwa bumiputera, 4000 jiwa orang Arab/Keling, 7.500 orang jiwa orang Cina dan 1.200 orang Eropa. Sedangkan dalm tahun 1930 penduduk Ibukota Palembang tercatat 109.400 jiwa yang terdiri dari 88.000 bumiputera, 1900 orang Eropa, 16.000 orang Cina dan 3.500 orang Arab. Penduduk bumiputera pada umumnya beragama Islam, kecuali di beberapa daerah pedalaman (daerah Pasemah dan Muara Dua) masih menganut faham “animisme dan “dinamisme” (Abdullah, 1984/1985:15).
                Pembagian golongan sebagai simbol sosial terdapat pada masyarakat pribumi untuk daerah pusat kota yang memegang peranan penting dalam kekuasaan, yaitu golongan priyayi atau bangsawan. Golongan bangsawan terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu pangeran, raden, dan mas agus. Golongan ini memiliki peranan penting dalam sistem pemerintahan di Kesultanan Palembang. Sementara itu untuk golongan masyarakat biasa terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu: kiai mas atau kimas, kiagus, dan rakyat jelata. Golongan rakyat jelata terdiri atas orang meji, senan (Senau), dan budak atau orang yang mengabdikan diri. Orang meji dan senan bermata pencaharian sebagai buruh, tani, dan pembuat barang kerajinan tangan. Barang-barang tangan itu biasanya dibeli oleh para pedagang dan dijual di luar kota Palembang (Supriyanto, 2013: 38-39)
Hubungan antara Nusantara dengan wilayah-wilayah di Jazirah Arab telah berlangsung sejak abad pertengahan. Hubungan ini erat kaitannya dengan hubungan dagang yang mereka (para pedagang Arab) lakukan dengan masyarakat pribumi. Dalam hal ini para pedagang dan navigator Arablah yang memperkenalkan Islam di Nusantara. Wilayah-wilayah Indonesia yang pertama kali dimasuki oleh agama islam seperti Aceh, Palembang dan Pulau Jawa. Namun pada permulaan mereka datang ke Indonesia, orang-orang Arab ini belum meninggalkan suatu komunitas atau perkampungan tempat mereka tinggal. Walaupun beberapa telah menetap di pesisir, namun secara otentik tidak diberitakan memiliki perkampungan khusus pada masa awal mereka datang ke Indonesia. Barulah kemudian pada abad ke-19, orang-orang Arab telah memiliki perkampungannya sendiri. Di Palembang sendiri khususnya telah berkembang banyak perkampungan Orang-orang Arab sekitar akhir abad 19 (Van den Berg, 2010:95).
Orang-orang Arab biasanya bekerja sebagai pedagang ataupun sebagai ulama-ulama dengan gelar “Sayyid”. Pada masa kesultanan Mereka memiliki kedudukan khusus di pemerintahan lokal, disebabkan karena mereka memegang peranan penting dalam ekonomi dan agama di Kota Palembang. Setelah kesultanan dihapuskan, kedudukan orang Arab tetap dianggap penting pada masa kolonial. Para pemukim Arab biasanya membuat perkampungan sendiri yang diisi oleh orang Arab saja. Rumah-rumah yang mereka bangun relatif mahal pada waktu itu, karena dibuat dengan model Rumah Limas dan dengan bahan-bahan yang mahal, seperti kayu unglen, batu bata, dan lain-lain. letaknya perkampungan ini biasanya di pinggiran Sungai Musi dan diisi oleh satu keluarga saja. Contohnya, ketika pemerintahan kolonial mulai membagi daerah administratif Palembang menjadi banyak kampung di ulu dan ilir, keluarga Arab mendiami beberapa kampung seperti, orang-orang Arab dari keluarga Assegaf mendiami kampung 16 ulu, keluarga Al-Munawar di kampung 13 ulu, keluarga Al-Kaff di kampung 8 ilir dan 10 ulu, keluarga Al-Jufri mendiami kampung 15 ulu, dan Al-Habsy yang mendiami kampung 8 ilir (Peeters, 1997:18).
            Sementara itu orang-orang Cina sejak abad ke-16, sudah menjadikan Palembang sebagai koloni tertua mereka di Asia Tenggara. Mereka bertindak sebagai mitra dagang atau pedagang perantara sejak masa kesultanan yang juga menawarkan berbagai jenis komoditas kebutuhan penduduk setempat. Orang-orang Cina pada abad ke-19 sudah berjumlah 800 orang yang mampu berintegrasi dengan masyarakat Palembang setempat, meskipun di mata masyarakat Palembang mereka digolongkan dalam warga kota lain, bersama-sama dengan orang-orang Arab, India, dan Timur Asing lainnya (Irwanto dkk, 2010:118). 
            Pada masa Kesultanan Palembang, orang-orang Cina mendapatkan perlakuan yang berbeda dari pihak kesultanan. Pada masa kesultanan, orang-orang Cina tidak diperbolehkan memiliki lahan pertanian. Selain itu, mereka diperkenankan tinggal di Kota Palembang akan tetapi, mereka harus tinggal di atas perahu atau rumah rakit. Kebijakan ini diambil oleh pihak Kesultanan Palembang dengan maksud untuk melindungi kepentingan kerajaan serta memudahkan mereka untuk mengendalikan orang-orang Cina. Hal ini berbanding terbalik dengan perlakuan pihak kesultanan  kepada orang-orang Arab. Pihak kesultanan memberikan kelonggaran dengan memperbolehkan orang-orang Arab untuk mendirikian bangunan mereka di darat. Namun, kebijakan pemerintah kolonial Belanda berbanding terbalik dengan kebijakan Kesultanan Palembang yang menempatkan orang-orang Cina di rakit-rakit. Setelah pemerintah kolonial berhasil menguasai Kesultanan Palembang, masyarakat Cina diberikan izin untuk mendirikan bangunan di daratan (Sevenhoven, 1971:21).
Dalam rangka memperkuat kekuasaannya, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan politik segregasi rasial. Dengan adanya politik ini, pemerintah kolonial menggolongkan masyarakat berdasarkan ras. Di mana orang Barat ditempatkan digolongkan teratas, orang Timur Asing seperti Cina, Arab dan bangsa Asia lainnya berada di lapisan kedua, dan masyarakat pribumi berada dilapisan paling bawah. Klasifikasi sosial ini semakin diperkokoh dengan munculnya kebijakan ekonomi kolonial, yang melarang kelompok Timur Asing menjalankan usaha pertanian serta memiliki tanah. Mereka hanya diberi keleluasaan sebagai pedagang ataupun pedagang perantara (Jumhari, 2010: 49-50).
     Bagi masyarakat Cina, selain sebagai pedagang ataupun pedagang perantara, salah satu profesi yang dijalankan oleh orang-orang Cina di Palembang adalah sebagai penarik beca. Beca tersebut bernama “beca Tionghoa”. Pada awal abad ke-19, beca Tionghoa telah dijumpai di wilayah pasar yang terletak di kampung 16 Ilir Palembang yang dibangun pada tahun 1819. Kendaraan beca Tionghoa akan selalu lalu lalang disepanjang jalan pasar kampung 16 Ilir. Beca Tionghoa adalah kendaraan roda dua yang mempunyai tempat duduk untuk penumpang dan beratap kain atau kanvas yang mudah dilipat, mayoritas penarik beca ini adalah orang Cina (Utomo dkk, 2012:262).
Penduduk iliran, yang sering merujuk ke Ibukota Palembang, sudah sejak semula merupakan kelompok masyarakat yang dilahirkan dengan bakat dagang mengingat susunan geografis atau keterbatasan lingkungan alam dan struktur kekuasaan yang diberlakukan pihak kesultanan. Mereka tidak dapat lepas dari tanah sebagai modal untuk mata pencaharian masing-masing. Akan tetapi, hasil yang mereka dapatkan biasa dibawa menghilir ke Ibukota Palembang untuk diperdagangkan di sana atau dibeli oleh para pedagang perantara yang mendatangi langsung kawasan iliran, setelah dikurangi dengan beban pajak baik pada masa kesultanan atau pun ketika pemerintahan kolonial Belanda mulai berada. Tidak seperti penduduk dataran tinggi yang tidak mudah untuk menghilir ke ibukota, berdagang adalah sesuatu yang masuk akal bagi penduduk iliran mengingat keadaan mereka seperti itu. Apalagi, kawasan iliran sering terkena banjir dari air sungai yang pasang, sehingga hasil pertanian mereka tidak pernah berkembang leluasa. (Zed, 2003: 36).
Berbeda halnya dengan penduduk iliran, penduduk uluan sejak masa kesultanan telah dikenal sebagai peladang-peladang yang sering membuka lahan-lahan baru di hutan-hutan dataran tinggi di sana. Dengan sistem perladangan itu, ikatan geneologis memegang peran penting dalam usaha membuka lahan tersebut. Dalam pengamatan Peeters, sistem kejuraian dapat bertahan lama di tengah penduduk uluan karena tiga faktor. Pertama, sistem ladang berpindah menuntut anggota keluarga atau kerabat untuk turut serta membuka, menyiapkan, dan mengolah lahan. Dalam proses ini, yang memimpin adalah jurai tuo. Kedua, karena lahan-lahan baru biasa dicari pada hutan-hutan yang terletak jauh dari pemukiman mereka (sekitar radius 10 sampai 30 km dari dusun inti), maka keadaan itu membuat sesama anggota kerabat mempertahankan kebersamaan guna memudahkan usaha yang berat itu. Ketiga, keadaan hutan yang sunyi dan belum tentu aman menuntut para anggota kerabat untuk saling melindungi satu sama lain (Peeters, 1997: 48). Oleh karena itu, ikatan erat yang dibangun antara anggota laki-laki dalam sebuah kejuraian dimaksudkan untuk melindungi anggota kerabat terhadap serangan-serangan yang datang dari luar.

2.3  Sistem Pemerintahan.
Menurut Prof. Prajudi, sistem adalah suatu jaringan dari prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk menggerakkan suatu fungsi yang utama dari usaha atau urusan. Sedangkan menurut Musanef, sistem adalah suatu sarana yang menguasai keadaan dan pekerjaan agar dalam melaksanakan tugas dapat teratur dan hal-hal yang saling berkaitan dan berubungan dapat membentuk satu kesatuan dan satu keseluruhan (Syafiie, 1994:7). Dari dua pendapat ahli di atas dapat penulis simpulkan bahwa sistem adalah suatu jaringan atau cara dari prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain untuk mencapai tujuan yang sama.

2.3.1        Pada Masa Kesultanan Palembang
Sturler menjelaskan dalam Hanafiah (1998:76) struktur pemerintahan  Kesultanan Palembang sebagai berikut:
1.      a. Raja dengan gelar sultan menjalankan kekuasaan tidak terbatas dan daripadanya datang semua perintah. Sedangkan gelar susuhunan atau sunan diberikan kepada seorang sultan, yang meletakkan jabatannya sewaktu dia masih hidup.
b. Sultan didampingi oleh putera mahkota dengan gelar pangeran ratu. Bertugas sebagai pengganti sultan, jika sultan berhalangan.
2.      Perdana Menteri sebagai pelaksana kekuasaan sultan. Dalam melaksanakan tugasnya, perdana menteri membawahi tumenggung (Urusan administrasi), rangga (urusan keluarga Istana), demang (urusanan keamanan dan pengaduan masyarakat), ngabehi (bertugas sebagai mata-mata).
3.      Pangeran Penghulu Nata Agama, sebagai pejabat agama tertinggi. Ditangan penghulu nata agama semua urusan agama diserahkan. Penghulu nata agama membawahi para pejabat seperti, lebai penghulu dan lebai khatib.
4.      Kerta Negara atau Hakim Perdamaian. Menjalankan bidang peradilan, terutama pengadilan sipil, dan pidana. Dalam menjaanakan tugasnya, kerta negara dibantu oleh tandah atau gripir.
Wakil pemerintahan pusat di daerah pedalaman adalah raban dan jenang. Raban dan jenang adalah orang kepercayaan sultan yang diangkat sebagai pegawai mewakili sultan untuk berhubungan dengan masyarakat daerah pedalaman. Raban dan jenang menyampaikan kepentingan pemerintahan ataupun kepentingan pribadi sultan. Seperti memungut pajak dan menyerahkan wajib upeti daerah pedalaman, khususnya hal ini berlaku untuk daerah kepungutan (Zed, 2003:37).
Untuk daerah pedalaman dibagi kedalam suatu bentuk masyarakat yang berdasarkan faktor genelogis yaitu, “marga”. Marga dipimpin oleh seorang pasirah. Selain sebagai pemimpin marga, para pasirah juga bertugas sebagai pemuka adat. Bagi pasirah yang telah banyak berjasa kepada kerajaan akan mendapatkan gelar sebagai depati. Marga terdiri dari kumpulan beberapa dusun, yang setiap dusun dipimpin oleh seorang krio. Untuk kepala dusun yang berkedudukan di pusat marga, menyandang gelar sebagai pembarap. Pembarap juga bertugas sebagai pengganti pasirah apabila pasirah berhalangan (Hidayah, 1993:45).
Sistem peradatan marga merupakan susunan masyarakat yang berdasarkan adat dan hukum adat, serta memiliki wilayah tertentu. Marga pada masa kesultanan hidup menurut adat yang berlaku menjiwai kehidupan marganya. Selain itu masyarakatnya juga memiliki ikatan lahir batin yang kuat, yang memang memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Marga memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, serta tidak memiliki ketergantungan terhadap pihak luar, karena memang mereka bisa melakukannya sendiri (Syawaluddin, 2010: 60).
Di samping pasirah sebagai kepala marga, setiap marga juga mempunyai sekretaris yang disebut juru tulis. Di bidang agama disebut penghulu dengan kepala urusan keagamaannya khatib. Khatib dibantu kaum yang terdiri dari modim, lebai, bilal dan marbot. Khatib bertugas dan mencatat bilamana ada orang nikah, cerai, dan rujuk, di samping juga kematian dan kelahiran. Khatib melapor pada penghulu, penghulu melapor pada pasirah sebagai kepala marga, sedangkan kaum memelihara atau mengurus masjid, langgar, padasan (Irwanto dkk, 2010:19).
Sistem pemerintahan Kesultanan Palembang telah teroganisir dengan baik, dengan dibentuknya masyarakat-masyarakat genelogis yang kokoh dan kuat. Sistem pemerintahan yang mereka anut adalah sistem pemerintahan yang terdapat dari mana mereka berasal. Struktur pemerintahan Kesultanan Palembang dibagi atas pemerintahan Ibu Kota dan daerah pedalaman. Daerah pedalaman sebagai daerah yang otonom terpilah-pilah dan terpisahkan satu sama lain dalam bentuk pemerintahan marga. Marga berbentuk sebuah wilayah administrasi genealogis, seketurunan (Irwanto dkk, 2010:12).
Wilayah Kesultanan Palembang Darussalam terbagi ke dalam daerah ibukota, daerah sikap, daerah kepungutan, dan daerah sindang. Ibukota sebagai pusat dari segala kegiatan sekaligus tempat berdiamnya sultan. Daerah “sikap” merupakan sekumpulan dusun yang dilepaskan dari marga. Dusun-dusun ini terletak di muara sungai yang strategis, dan mereka mempunyai tugas-tugsa khusus untuk sultan, seperti tukang dayung perahu sultan, tukang kayu, tukang pembawan air prajurit, dan berbagai tugas lainnya. Sementara daerah “kepungutan” merupakan daerah yang langsung diperintah oleh sultan. Menurut  de Brauw “kepungut berarti orang yang dipungut (dilindungi) dimaksudkan adalah orang-orang pedalaman Palembang, yang langsung berada di bawah kekuasaan sultan”, Sultan menetapkan segala pajak untuk daerah Kepungutan (Hanafiah, 2005: .10-15).
Status masyarakat yang berdiam di kedua wilayah tersebut adalah sebagai matogawe dan matopajeg bagi sultan di ibukota. Dikatakan sebagai matogawe karena mereka dikenai kewajiban untuk bekerja pada sultan di ibukota, sedangkan dikatakan matopajeg karena mereka dikenai kewajiban untuk membayar pajak kepada sultan melalui wakil-wakil sultan di daerah pedalaman yang disebut dengan jenang dan raban. Penduduk wilayah sikap dan kepungutan pada masa itu menganggap sultan sebagai pemilik tanah. Adapun mereka sendiri adalah sebagai penunggu tanah sultan atau dengan istilah setempat disebut tunggu tanah rajo. Mereka tidak boleh memiliki dan menguasai tanah tersebut. Mereka hanya diperbolehkan untuk memanfaatkan dan karena itu mereka pun diwajibkan untuk memberikan tenaga dan hasil pertanian dalam jumlah tertentu untuk sultan di ibukota. Bagi penduduk sikap, yang mereka berikan adalah tenaga dan/atau kerja. Adapun bagi penduduk kepungutan, yang mereka berikan adalah pajak berupa hasil bumi baik yang berupa hasil dari sawah-sawah, kebun-kebun, ataupun segala sesuatu yang dapat dihasilkan dari halaman rumah mereka (Faille, 1971: 41-43).
Untuk daerah Sikap dan Kepungutan diberlakukan Undang-undang Simbur Cahaya”, yang digunakan sebagai landasan hukum adat daerah tersebut. Undang-undang simbur cahaya adalah nama yang diambil dari nama sumber hukum adat setempat (Oendang-Oendang Simboer Tjahaja) yang disusun sejak masa pemerintahan Pangeran Ratu Sending Pura (1623—1630). Secara umum, isi undang-undang itu berkenaan dengan penjabaran hak-hak dan kewajiban anggota masyarakat dalam berbagai tingkatan dan jenis kegiatan pada masa Kesultanan Palembang. Ketimbang menekankan kewajiban-kewajiban sultan, undang-undang itu lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban rakyat (Barlian, 2001: 97).
Sementara itu, daerah “sindang” merupakan daerah yang menjadi wilayah perbatasan yang tugasnya adalah menjaga perbatasan Kesultanan Palembang. Daerah ini mengakui kekuasaan sultan, tetapi mereka diberi kebebasan mengatur daerahnya sendiri.
Apabila di daerah kepungutan dikenal dengan marga, maka kesukuan di daerah sindang dikenal dengan “sumbai” (Soetadji, 2000: 103). Daerah ini dipandang sebagai daerah sekutu oleh pihak kesultanan, maka dari itu daerah sindang diberi kebebasan dari kewajiban membayar pajak dan hanya dikenakan cukai. Masyarakat daerah sindang sendiri tidak memiliki kewajiban kecuali keharusan untuk seba (datang menghadap). Daerah Sindang juga memiliki undang-undang yang berbeda dengan daerah Kepungutan, mereka memiliki peraturan tersendiri yaitu “Undang-Undang Sindang Mardika” (Zed, 2003: 44).
Menurut Peeters, kunci untuk memahami masyarakat sindang adalah kejuraian. Jurai yang berarti keturunan adalah bentuk kekerabatan yang menganalogikan kepada sebuah rumah tangga. Ketika sang ayah meninggal, maka semua saudara laki-laki mendapat harta warisan tanpa dibagi sama sekali. Tanah yang termasuk harta warisan akan dimanfaatkan bersama. Putra tertua dari sang ayah tersebut biasa dijadikan sebagai pemimpin kelompok dengan nama jurai tuo. Akan tetapi, tidak selalu putra tertua yang diangkat sebagai jurai tuo. Apabila di antara para pewaris ada yang memiliki kemampuan lebih, maka ia dapat diangkat sebagai jurai tuo, meskipun hal seperti ini termasuk menyimpang dari kebiasaan. Sebagai seorang jurai tuo, tugas mengelola dan menanggungjawabi milik bersama kejuraian dipegang olehnya. Semua yang dimiliki bersama ini tidak boleh diperdagangkan tanpa sepengetahuan semua anggota kejuraian (Peeters, 1997: 46).
Poros utama dalam kejuraian adalah poyang. Poyang sebagai orang pertama dalam struktur kejuraian adalah seseorang pada kedudukan nenek moyang. Poyang inilah yang dalam uraian sebelum ini dianggap sebagai sang ayah dalam sebuah kejuraian. Kedudukan keluarga tehormat ditentukan oleh garis keturunan nenek moyang itu yang juga sebagai pendatang awal di tempat tersebut. Darinya, turun-temurun jabatan kepala suku diwariskan. Adapun masyarakat kesukuan kawasan sindang, sebagaimana sudah disebutkan, mereka hanya tunduk pada kepala-kepala suku. Dalam keadaan seperti ini, poyang secara tidak langsung menjadi dasar ideologis yang sering digunakan oleh para kepala suku itu untuk melawan kekuasaan pemerintah kolonial. Sampai pada batas tertentu, masyarakat setempat sering mengadakan upacara pemujaan kepada poyang melalui perantaraan seorang dukun, meski bentuk pemujaan itu hanya terbatas pada wilayah yang dipengaruhi oleh poyang tersebut. Selain itu, poyang juga menentukan kepemilikan berikut kepewarisan tanah dan hubungan perkawinan. Oleh karena itu, poyang memiliki pengaruh psikologis yang besar dalam kejuraian (Hidayah, 1993: 490)
        
2.3.2 Pada Masa Kolonial Belanda
Masyarakat pada masa pemerintahan kolonial Belanda terdiri dari berbagai golongan yang oleh para ahli ilmu sosial dibedakan menurut “color-line” atau “garis warna kulit”. Golongan yang secara politik dan ekonomi menduduki tempat teratas dalam susunan masyarakat itu adalah orang-orang Belanda. Secara politik kekuasaaannya berpusat pada seorang Gubernur Jenderal di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan Hindia untuk bertindak sebagai kabinet dan tugasnya membawahi berbagai departemen. Pejabat-pejabat birokrasi yang terpenting di daerah seperti, residen, asisten residen, dan kontrolir. Elite birokrasi kolonial itu dikategorikan sebagai Binnenlands Bestuur (BB) (Leirissa, 1985: 5).
            Harsono (1992:55), menjelaskan dalam bukunya “hukum tata negara pemerintahan lokal dari masa ke masa”. Tiap-tiap Keresidenan dipimpin oleh residen. Suatu keresidenan dibagi ke dalam afdeeling-afdeeling yang dikepalai oleh asisten residen. Untuk daerah afdeeling dibagi ke dalam onderafdeeling-onderafdeeling yang dikepalai oleh kontrolir. Selanjutnya untuk setiap daerah onderafdeeling dibagi atas distrik-distrik yang dari masing-masing distrik terdiri dari beberapa onderdistrik.
(nama-nama residen dapat dilihat di halaman lampiran)
Gubernur Jenderal yang menjadi kepala pemerintahan Hindia Belanda diangkat oleh kerajaan atas usul dari Menteri Jajahan. Gubernur Jenderal biasanaya bertugas selama lima tahun walaupun ini tidaklah ditentukan dengan suatu peraturan dan ada kemungkinan untuk diperpendek atau diperpanjang sesuai dengan keadaan. Gubernur Jenderal bertanggung jawab kepada kerajaan untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah jajahan setempat, oleh karena itu Gubernur Jenderal merupakan penguasa tertinggi di tanah jajahan. Gubernur Jendereal terikat dengan peraturan-peraturan dari Menteri Jajahan di Den Hag. Karena jauhnya jarak antara Negara Induk dengan tanah jajahan, memungkinkan Gubernur Jenderal untuk bertindak bebas (Van Niel, 1964: 23).
Residen berada langsung di bawah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda untuk memegang administrasi dan peradilan di daerah. Residen tidak hanya memiliki kuasa dalam hal keuangan dan administrasi, akan tetapi juga dalam tugas-tugas kepolisian dan tugas-tugas peradilan, baik perdata maupun pidana. Residen juga berwenang untuk menetapkan “segala macam perbuatan rakyat yang tidak tahu aturan dan bertentangan dengan ketenteraman umum sebagai perbuatan yang akan dapat dipidana oleh polisi” (Wignjosoebroto, 2014: 17-18).
            Di bawah residen terdapat seorang asisten residen yang ditempatkan di setiap afdeeling dan memiliki tanggung jawab penuh kepada residen yang ada di pusat Keresidenan. Untuk membantu asisten residen, pemerintah Hindia-Belanda menempatkan kontrolir (controuler) di masing-masing onderafdeeling. Selain untuk tetap menjaga keamanan di setiap onderafdeeling, kontrolir juga berperan sebagai pengawas pemasukan negara (Simbolon, 2006:122).
Selain Binlandsche Bestuur (BB), terdapat juga birokrasi pemerintah kolonial yang berasal dari masyarakat pribumi dikategorikan ke dalam inlandsche Bestuur (IB). Setelah pemerintah kolonial berhasil menguasai daerah pedalaman Keresidenan Palembang, pemerintah kolonial Belanda menjadikan demang sebagai administrasi Inlandsche Bestuur tertinggi. Seorang demang mengepalai setiap distrik, dan setiap distrik terdiri dari onderdistrik yang dikepalai oleh asisten demang. Mereka diharapkan dapat berhubungan langsung dengan para pasirah dan penduduk marga. Untuk dapat menjalankan kepentingan-kepentingan pemerintah yang menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda dan sumber daya alam pada tingkat marga (Zed, 2003:57).
Palembang menjadi suatu keresidenan ketika pemerintah kolonial Belanda berhasil menguasainya. Penguasa tertinggi di Keresidenan Palembang adalah seorang residen yang dibantu oleh asisten residen disetiap afdeeling. Afdeeling membawahi onderafdeeling yang dikepalai oleh kontrolir. Dalam menjalankan pemerintahannya, pemerintah kolonial dibantu oleh para pejabat pribumi seperti demang dan asisten demang untuk berhubungan dengan masyaratak pribumi (Supriyanto, 2013: 46).
Pada masa pemerintahan kolonial, sistem pemerintahan marga yang bersifat tradisional masih tetap dipertahankan. Jabatan pemimpin suatu marga masih dipegang oleh seorang pesirah atau depati. Masing-masing marga terdiri dari beberapa dusun yang dikepalai oleh seorang kerio, sedangkan dusun di ibukota marga dikepalai oleh seorang pembarap. Semua pejabat tradisional ini dipilih oleh penduduk yang mempunyai hak memilih. Para pesirah yang terpilih disahkan dan diberhentikan oleh residen. Untuk para pesirah yang telah menjalankan tugasnya selama 15 tahun, biasanya diberhentikan dengan hormat oleh residen dengan diberi gelar “pangeran”. Sebagai pejabat terkemuka di dalam marga/dusun, mereka bertugas untuk meningkatkan pertanian dan peternakan, mengelola kekayaan alam/dusun, menarik pajak dari penduduk setempat, dan terutama sebagai alat pemerintah kolonial Belanda untuk memerintah di daerah marga (Abdullah, 1984/1985: 51).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar