TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Geografis Keresidenan Palembang
2.1.1 Gografis
Keresidenan Palembang
Keresidenan Palembang termasuk dalam wilayah
Sumatera Selatan, di sebelah barat dibatasi oleh daerah Bengkulu, di sebelah utara
Jambi, dan daerah Bangka dan Laut Jawa di sebelah selatan. Selain itu, di
sebelah barat daerah itu terdapat Bukit Barisan yang membentang dari arah barat
daya menuju tenggara. Luas wilayah Palembang pada abad ke-19 adalah 85.918 km
(Supriyanto, 2013:29).
Secara geografis Palembang terletak
pada 20
58’ lintang selatan dan 1050 bujur timur (dari greenwich) dengan ketinggian rata-rata 8 meter dari
permukaan laut. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Palembang merupakan wilayah
yang relatif rendah. Keadaan cuaca di Palembang tidaklah teratur seperti di
Pulau Jawa. Hujan yang sangat deras kadang-kadang turun di bulan-bulan yang
harusnya terjadi musim kemarau. Pada bulan Agustus sampai April biasanya angin bertiup dari barat daya
dan barat laut, inilah waktu yang baik untuk ke pedalaman Palembang, karena
pada bulan ini volume air sungai berlayar cukup banyak dan baik untuk pelayaran
kapal (Sevenhoven. 1917:11)
Mengenai topografis di kota Palembang, sebagian wilayahnya di genangi
oleh air, baik sewaktu hujan turun maupun sesudah hujan turun secara terus
menerus. Dikarenakannya, wilayah Palembang memiliki tanah yang berlapis
alluvial. Sungai Musi yang terletak di Ibukota Palembang memiliki peran yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat Palembang. Kawasan yang berada di
belahan utara Musi merupakan cekungan dangkal, sedangkan di belahan selatan
Musi merupakan cekungan dalam. Sementara itu,
di belahan selatan Musi, lebih dominan berupa rawa-rawa dan di belahan
utara Musi berupa dataran yang tinggi
dan kering (Zubir, dkk 2012:18).
Palembang secara rutin juga terkena dampak
dari pasang-surut air laut yang datang melalui Sungai Musi. Secara berkala
selama beberapa minggu dalam setahun akan terjadi pasang-surut yang membuat
beberapa wilayah Ibukota Palembang tergenang air. Hal ini
dipengaruhi oleh wilayah Palembang yang terletak kurang lebih 95 km dari selat
Bangka, namun siklus air yang lebih besar biasanya datang setiap 5 tahun sekali
di mana debit air yang mengalami pasang lebih besar dari tahun-tahun biasanya.
Namun karena telah hafal dan mengerti mengenai sikllus air pasang laut ini,
masyarakat Palembang umumnya sudah siap dengan datangnya air pasang tersebut
(Irwanto dkk, 2010:7).
Di
daerah pedalaman yang masih merupakan wilayah Keresidenan Palembang terdapat
kawasan dataran tinggi bagian barat, khususnya yang terletak antara hulu Sungai Rawas
bagian utara dan Sungai Komering di selatan dengan dataran tinggi Gunung Dempo (3.159 meter),
merupakan hulu dari sungai-sungai Batanghari Sembilan. Karena tidak terpengaruh
pasang surut air laut pantai timur, tanah-tanah dataran tinggi tampak subur dan sangat
cocok untuk pertanian ladang dan sawah. Agak ke selatan terbentang terbentang dataran tinggi Pasemah di antara
hulu Sungai Lintang dengan Sungai Lematang. Pertanian ladang yang digarap di
sekitar kaki Gunung Dempo dapat berkembang dan mampu menghasilkan berbagai
jenis hasil hutan dan tanaman kopi. Di sisi selatan lainnya terdapat dataran
tinggi Semendo yang sejajar dengan dataran tinggi Ranau, sedikit menjorok ke
arah timur rangkaian Bukit Barisan berbatasan dengan daerah Lampung di ujung paling
selatan Pulau Sumatera (Zed, 2003:29).
Akan tetapi,
untuk melihat karakteristik lingkungan fisik daerah Palembang, dapat dijadikan
pola “iliran” dan “uluan” (dua istilah
yang digunakan untuk membedakan kawasan dataran rendah dan dataran tinggi
Palembang). Sebagai masyarakat perairan sungai, sudah barang tentu hidup dan
akrab dengan sungai-sungai yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Palembang
sudah lama memakai istilah ilir dan ulu untuk menunjukkan letak suatu tempat
sesuai arah aliran sungai di tengah-tengah mereka. Oleh pemerintah kolonial,
konsep iliran dan uluan dirumuskan
kembali untuk membagi daerah aliran sungai terpenting dalam berbagai daerah administratif
berdasarkan pembagian hilir dan hulu (Peeters, 1997:37).
Di kedua kawasan itu, sampai menjelang
1860-an seiring dengan ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan Belanda di daerah
pedalaman sampai penaklukan Pasemah—yakni salah satu masyarakat kesukuan yang
berdiam di kawasan uluan, hampir tidak ditemukan jalan darat. Sistem sungai
merupakan jaringan komunikasi utama. Itu pula alasan bahwa mayoritas penduduk
menetap di tepi sungai-sungai besar yang banyak terdapat di Palembang. Selain
itu, karena keberadaan sungai-sungai inilah, maka pada masa pemerintahan
Keresidenan Palembang julukan “Batanghari Sembilan” masih saja melekat karena keberadaan
sungai-sungai besar ini. Julukan ini merujuk ke sembilan sungai utama yang
melintasi wilayah Palembang. Sembilan sungai itu adalah Sungai Klingi, Bliti,
Lakitan, Rawas, Rupit, Batang Leko, Ogan, dan Komering yang akan bermuara pada
sungai Musi (Faille, 1971: 16). Sembilan sungai tersebut berhulu di
gunung-gunung yang terdapat di Bukit Barisan.
Sungai-sungai yang mendominasi iliran tersebut sudah lama terikat
dengan dunia perdagangan yang berpusat di Ibukota Palembang. Semua sungai itu tidak hanya berfungsi sebagai sarana utama
penghubung antara kawasan iliran dengan daerah uluan
di pedalaman dengan daerah iliran,
tetapi juga memberikan kehidupan pokok bagi penduduk setempat. Akan tetapi,
karena itu juga, iliran memang
rawan banjir akibat tekanan sungai-sungai yang ada. Penduduk setempat dapat
dikatakan amat tergantung pada keadaan alam. Oleh karena sebagian besar sifat
tanah selalu basah dan rawan banjir itulah, maka penduduk yang berada sekitar
dataran rendah aliran sungai hampir tidak akan pernah bisa berhasil
mengembangkan sistem pertanian ladang (tanah kering) seperti apa yang sering
dilakukan oleh penduduk daerah dataran tinggi (Sevenhoven, 1917:13).
Apabila hubungan iliran dengan Ibukota Palembang relatif mudah, maka hubungan uluan dengan kota Palembang
tidak demikian. Perjalanan dari Ibukota ke hulu sungai biasanya memakan waktu
berminggu-minggu. Di samping itu, perhubungan dengan Ibukota
tersebut sangat tergantung dengan musim. Permukaan air di musim hujan tinggi
yang membuat sungai-sungai dapat dilayari sampai ke hulu, sedangkan permukaan
air di musim kemarau rendah membuat pelayaran di uluan dihalangi oleh batang pohon dan beting (Peeters, 1997:
57).
2.1.2 Keadaan Alam
Pada bagian timur laut Palembang terdiri dari dataran rendah dan pada
bagian pantai timurnya
berawa-rawa (10-100 m), dan pada lokasi barat daya merupakan daerah
berbukit-bukit sampai ke lereng Bukit Barisan, di mana kita dapati Gunung Dempo
(3173 m), Gunung Seblat (2383 m) dan gunung batak (2817m). Kemudian pada bagian
tengah terdapat dataran rendah aluvial dengan berbukit-bukit (100-500 m), yang
merupakan penghubung antar kedua daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
keadaan Palembang dan daerah sekitarnya terdiri dari dataran rendah aluvial,
dan di beberapa tempat daerah seberang ulu dan daerah seberang ilir barat berupa daerah yang berawa-rawa. Daerah aluvial yang
terdiri atas dataran rendah dengan ketinggian 5-10 meter di atas permukaan
laut, terutama daerah di sebelah Utara Palembang. Sedangkan daerah Timur-Laut
dan daerah bagian Barat berketinggian 22 meter dari permukaan laut (Abdullah
dkk, 1984/1985:14)
Di
Palembang terdapat sungai besar, yaitu Sungai Musi yang memilik panjang 550 km,
.yang merupakan pemisah antara daerah Hlir dan Hulu di
Ibukota Palembang. Sungai
Musi juga merupakan induk Sungai Beliti, Ogan, Lematang, Lakitan, Komering,
Rawas, Rupit, Kelingi dan Batang Leko. Di samping itu sepanjang 450 km dari Sungai Musi dapat dilayari dengan kapal-kapal berukuran
besar. Selain itu, di pinggiran Sugai Musi digunakan sebagai pusat pertemuan
para pedagang dari berbagai daerah pedalaman. Itulah sebabnya Ibukota Palembang menjadi ramai sebab memiliki jalur lalu
lintas yang menghubungkan antara daerah-daerah pedalaman dengan pusat
(Supriyanto, 2013: 32-33).
2.2 Demografi
Setelah dikuasai pemerintah kolonial Belanda, Palembang
menjadi wilayah yang semakin ramai. Situasi ini dikarenakan Palembang semakin
dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai pusat perekonomian di
Sumatera Selatan. Kenyataan ini semakin diperkuat dengan hasil
statistik yang menunjukkan semakin bertambahnya produksi dari hasil bumi
seperti karet, kopi, dan banyaknya hasil tambang yang melimpah di wilayah
Sumatera Selatan. Keadaan inilah yang menggambarkan semakin berkembang dan
sejahteranya masyarakat Palembang pada masa itu (Irwanto, 2011:77).
Keramaian yang terjadi di Palembang ini dapat dilihat dari perkembangan
penduduk yang ada di Palembang. Sekitar pertengahan Abad ke-19 Kota Palembang
memiliki jumlah penduduk hampir mencapai angka 50 ribu jiwa. Dalam buku Djohan
Hanafiah yang mengutip data dari J.W.J Wellan (Zuis Sumatra Economische overzicht), Angka ini selalu bertambah
per-lima tahun sekali. Dalam kurun waktu tahun 1880-an, yang menjadi awal skup
temporal penelitian ini jumlah penduduk Kota Palembang diperkirakan mencapai
angka 54.538 ribu jiwa. Perhitungan Penduduk pada masa itu, dilakukan oleh
pemerintahan kolonial Belanda (Hanafiah, 1998:17).
Penduduk Ibukota Palembang pada tanggal 1 Januari 1855
berjumlah 41.843 jiwa yang terdiri 11.349
orang laki-laki dan 14.464 orang perempuan, sisanya adalah anak-anak.
Dari jumlah tersebut, 37.565 orang adalah penduduk pribumi Palembang, 102 orang
Eropa, 2.504 orang Cina dan 1.672 orang Arab dan bangsa-bangsa timur lainnya
(Amran dalam Berita Pagi, Minggu 25 November 2012).
Namun seiring perkembangan zaman, penduduk di wilayah Palembang terus
mengalami pertambahan Jumlah penduduk. Keresidenan Palembang dalam tahun 1915
diperkirakan 754.700 jiwa yang terdiri dari: 742.000 jiwa bumiputera, 4000 jiwa
orang Arab/Keling, 7.500 orang jiwa orang Cina dan 1.200 orang Eropa. Sedangkan
dalm tahun 1930 penduduk Ibukota Palembang tercatat
109.400 jiwa yang terdiri dari 88.000 bumiputera, 1900 orang Eropa, 16.000 orang Cina dan 3.500 orang
Arab. Penduduk bumiputera pada umumnya beragama Islam, kecuali di beberapa
daerah pedalaman (daerah Pasemah dan Muara
Dua) masih menganut faham “animisme” dan “dinamisme”
(Abdullah, 1984/1985:15).
Pembagian golongan
sebagai simbol sosial terdapat pada masyarakat pribumi
untuk daerah pusat kota yang memegang peranan penting dalam kekuasaan, yaitu golongan priyayi atau bangsawan. Golongan bangsawan terbagi
menjadi tiga lapisan, yaitu pangeran, raden, dan mas agus. Golongan ini memiliki peranan penting dalam sistem pemerintahan di
Kesultanan Palembang. Sementara itu untuk golongan masyarakat biasa terbagi
menjadi tiga lapisan, yaitu: kiai mas atau kimas, kiagus, dan rakyat jelata.
Golongan rakyat jelata terdiri atas orang meji, senan (Senau), dan budak atau orang yang mengabdikan diri.
Orang meji dan senan bermata pencaharian sebagai buruh, tani, dan pembuat
barang kerajinan tangan. Barang-barang tangan itu biasanya dibeli oleh para
pedagang dan dijual di luar kota Palembang (Supriyanto, 2013:
38-39)
Hubungan antara
Nusantara dengan wilayah-wilayah di Jazirah Arab telah berlangsung sejak abad
pertengahan. Hubungan ini erat kaitannya dengan hubungan dagang yang mereka
(para pedagang Arab) lakukan dengan masyarakat pribumi. Dalam hal ini para
pedagang dan navigator Arablah yang memperkenalkan Islam di Nusantara.
Wilayah-wilayah Indonesia yang pertama kali dimasuki oleh agama islam seperti
Aceh, Palembang dan Pulau Jawa. Namun pada permulaan mereka datang ke
Indonesia, orang-orang Arab ini belum meninggalkan suatu komunitas atau
perkampungan tempat mereka tinggal. Walaupun beberapa telah menetap di pesisir,
namun secara otentik tidak diberitakan memiliki perkampungan khusus pada masa
awal mereka datang ke Indonesia. Barulah kemudian pada abad ke-19, orang-orang
Arab telah memiliki perkampungannya sendiri. Di Palembang sendiri khususnya
telah berkembang banyak perkampungan Orang-orang Arab sekitar akhir abad 19 (Van
den Berg, 2010:95).
Orang-orang Arab
biasanya bekerja sebagai pedagang ataupun sebagai ulama-ulama dengan gelar “Sayyid”. Pada masa kesultanan Mereka memiliki kedudukan
khusus di pemerintahan lokal, disebabkan karena mereka memegang peranan penting
dalam ekonomi dan agama di Kota Palembang. Setelah kesultanan dihapuskan,
kedudukan orang Arab tetap dianggap penting pada masa kolonial. Para pemukim
Arab biasanya membuat perkampungan sendiri yang diisi oleh orang Arab saja.
Rumah-rumah yang mereka bangun relatif mahal pada waktu itu, karena dibuat
dengan model Rumah Limas dan dengan bahan-bahan yang mahal, seperti kayu
unglen, batu bata, dan lain-lain. letaknya perkampungan ini biasanya di
pinggiran Sungai Musi dan diisi oleh satu keluarga saja. Contohnya, ketika
pemerintahan kolonial mulai membagi daerah administratif Palembang menjadi
banyak kampung di ulu dan ilir, keluarga Arab mendiami beberapa kampung
seperti, orang-orang Arab dari keluarga Assegaf mendiami kampung 16 ulu,
keluarga Al-Munawar di kampung 13 ulu, keluarga Al-Kaff di kampung 8 ilir dan
10 ulu, keluarga Al-Jufri mendiami kampung 15 ulu, dan Al-Habsy yang mendiami
kampung 8 ilir (Peeters, 1997:18).
Sementara itu orang-orang Cina sejak
abad ke-16, sudah menjadikan Palembang sebagai koloni tertua mereka di Asia
Tenggara. Mereka bertindak sebagai mitra dagang atau pedagang perantara sejak
masa kesultanan yang juga menawarkan berbagai jenis komoditas kebutuhan
penduduk setempat. Orang-orang Cina pada abad ke-19 sudah berjumlah 800 orang
yang
mampu berintegrasi dengan masyarakat
Palembang setempat, meskipun di mata masyarakat Palembang mereka digolongkan dalam warga kota lain, bersama-sama dengan
orang-orang Arab, India, dan Timur Asing lainnya (Irwanto
dkk, 2010:118).
Pada
masa Kesultanan Palembang, orang-orang Cina mendapatkan perlakuan yang berbeda
dari pihak kesultanan. Pada masa kesultanan, orang-orang Cina tidak
diperbolehkan memiliki lahan pertanian. Selain itu, mereka diperkenankan
tinggal di Kota Palembang akan tetapi, mereka harus tinggal di atas perahu atau
rumah rakit. Kebijakan ini diambil oleh pihak Kesultanan Palembang dengan
maksud untuk melindungi kepentingan kerajaan serta memudahkan mereka untuk
mengendalikan orang-orang Cina. Hal ini berbanding terbalik dengan perlakuan
pihak kesultanan kepada orang-orang
Arab. Pihak kesultanan memberikan kelonggaran dengan memperbolehkan orang-orang
Arab untuk mendirikian bangunan mereka di darat. Namun, kebijakan pemerintah
kolonial Belanda berbanding terbalik dengan kebijakan Kesultanan Palembang yang
menempatkan orang-orang Cina di rakit-rakit. Setelah pemerintah kolonial
berhasil menguasai Kesultanan Palembang, masyarakat Cina diberikan izin untuk
mendirikan bangunan di daratan (Sevenhoven, 1971:21).
Dalam rangka memperkuat
kekuasaannya, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan politik
segregasi rasial. Dengan adanya politik ini, pemerintah kolonial menggolongkan masyarakat berdasarkan ras.
Di mana orang Barat ditempatkan digolongkan teratas, orang Timur Asing seperti
Cina, Arab dan bangsa Asia lainnya berada di lapisan kedua, dan masyarakat
pribumi berada dilapisan paling bawah. Klasifikasi sosial ini semakin
diperkokoh dengan munculnya kebijakan ekonomi kolonial, yang melarang kelompok
Timur Asing menjalankan usaha pertanian serta memiliki tanah. Mereka hanya
diberi keleluasaan sebagai pedagang ataupun pedagang perantara (Jumhari, 2010:
49-50).
Bagi masyarakat Cina, selain sebagai
pedagang ataupun pedagang perantara, salah satu profesi yang dijalankan oleh
orang-orang Cina di Palembang adalah sebagai penarik beca. Beca tersebut bernama
“beca Tionghoa”. Pada awal abad
ke-19, beca Tionghoa telah dijumpai di wilayah pasar yang terletak di kampung
16 Ilir Palembang yang dibangun pada tahun 1819. Kendaraan beca Tionghoa akan
selalu lalu lalang disepanjang jalan pasar kampung 16 Ilir. Beca Tionghoa
adalah kendaraan roda dua yang mempunyai tempat duduk untuk penumpang dan
beratap kain atau kanvas yang mudah dilipat, mayoritas penarik beca ini adalah
orang Cina (Utomo dkk, 2012:262).
Penduduk iliran, yang sering merujuk ke Ibukota Palembang, sudah sejak
semula merupakan kelompok masyarakat yang dilahirkan dengan bakat dagang
mengingat susunan geografis atau keterbatasan lingkungan alam dan struktur kekuasaan
yang diberlakukan pihak kesultanan. Mereka tidak dapat lepas dari tanah sebagai
modal untuk mata pencaharian masing-masing. Akan tetapi, hasil yang mereka dapatkan
biasa dibawa menghilir ke Ibukota Palembang untuk diperdagangkan di sana atau
dibeli oleh para pedagang perantara yang mendatangi langsung kawasan iliran,
setelah dikurangi dengan beban pajak baik pada masa kesultanan atau pun ketika
pemerintahan kolonial Belanda mulai berada. Tidak seperti penduduk dataran
tinggi yang tidak mudah untuk menghilir ke ibukota, berdagang adalah sesuatu
yang masuk akal bagi penduduk iliran mengingat keadaan mereka seperti itu.
Apalagi, kawasan iliran sering terkena banjir dari air sungai yang pasang,
sehingga hasil pertanian mereka tidak pernah berkembang leluasa. (Zed, 2003:
36).
Berbeda
halnya dengan penduduk iliran, penduduk uluan sejak masa kesultanan telah
dikenal sebagai peladang-peladang yang sering membuka lahan-lahan baru di
hutan-hutan dataran tinggi di sana. Dengan sistem perladangan itu, ikatan geneologis
memegang peran penting dalam usaha membuka lahan tersebut. Dalam pengamatan
Peeters, sistem kejuraian dapat
bertahan lama di tengah penduduk uluan karena tiga faktor. Pertama, sistem
ladang berpindah menuntut anggota keluarga atau kerabat untuk turut serta
membuka, menyiapkan, dan mengolah lahan. Dalam proses ini, yang memimpin adalah
jurai tuo. Kedua, karena lahan-lahan
baru biasa dicari pada hutan-hutan yang terletak jauh dari pemukiman mereka
(sekitar radius 10 sampai 30 km dari dusun inti), maka keadaan itu membuat
sesama anggota kerabat mempertahankan kebersamaan guna memudahkan usaha yang
berat itu. Ketiga, keadaan hutan yang sunyi dan belum tentu aman menuntut para
anggota kerabat untuk saling melindungi satu sama lain (Peeters, 1997: 48). Oleh
karena itu, ikatan erat yang dibangun antara anggota laki-laki dalam sebuah kejuraian dimaksudkan untuk melindungi
anggota kerabat terhadap serangan-serangan yang datang dari luar.
2.3
Sistem
Pemerintahan.
Menurut
Prof. Prajudi, sistem adalah suatu jaringan dari prosedur-prosedur yang
berhubungan satu sama lain menurut skema atau pola yang bulat untuk
menggerakkan suatu fungsi yang utama dari usaha atau urusan. Sedangkan menurut
Musanef, sistem adalah suatu sarana yang menguasai keadaan dan pekerjaan agar
dalam melaksanakan tugas dapat teratur dan hal-hal yang saling berkaitan dan
berubungan dapat membentuk satu kesatuan dan satu keseluruhan (Syafiie, 1994:7). Dari
dua pendapat ahli di atas dapat penulis simpulkan bahwa sistem adalah suatu
jaringan atau cara dari prosedur-prosedur yang berhubungan satu sama lain untuk
mencapai tujuan yang sama.
2.3.1
Pada
Masa Kesultanan Palembang
Sturler menjelaskan
dalam Hanafiah (1998:76) struktur pemerintahan
Kesultanan Palembang sebagai berikut:
1.
a. Raja dengan
gelar sultan menjalankan kekuasaan
tidak terbatas dan daripadanya datang semua perintah. Sedangkan gelar susuhunan
atau sunan diberikan kepada seorang sultan, yang meletakkan jabatannya sewaktu
dia masih hidup.
b. Sultan didampingi oleh putera mahkota dengan gelar pangeran ratu. Bertugas sebagai
pengganti sultan, jika sultan berhalangan.
2. Perdana Menteri sebagai pelaksana kekuasaan sultan.
Dalam melaksanakan tugasnya, perdana menteri membawahi tumenggung (Urusan administrasi),
rangga (urusan keluarga Istana), demang (urusanan keamanan dan pengaduan
masyarakat), ngabehi (bertugas sebagai mata-mata).
3. Pangeran Penghulu Nata Agama, sebagai pejabat agama
tertinggi. Ditangan penghulu nata agama semua urusan agama diserahkan. Penghulu
nata agama membawahi para pejabat seperti, lebai penghulu dan lebai khatib.
4. Kerta Negara atau Hakim Perdamaian. Menjalankan bidang
peradilan, terutama pengadilan sipil, dan pidana. Dalam menjaanakan tugasnya,
kerta negara dibantu oleh tandah atau gripir.
Wakil pemerintahan
pusat di daerah pedalaman adalah raban
dan jenang. Raban dan jenang adalah
orang kepercayaan sultan yang diangkat sebagai pegawai mewakili sultan untuk
berhubungan dengan masyarakat daerah pedalaman. Raban dan jenang menyampaikan kepentingan
pemerintahan ataupun kepentingan pribadi sultan. Seperti memungut pajak dan menyerahkan
wajib upeti daerah pedalaman, khususnya hal ini berlaku untuk daerah kepungutan
(Zed, 2003:37).
Untuk daerah pedalaman
dibagi kedalam suatu bentuk masyarakat yang berdasarkan faktor genelogis yaitu,
“marga”. Marga dipimpin oleh seorang pasirah.
Selain sebagai pemimpin marga, para pasirah juga bertugas sebagai pemuka adat.
Bagi pasirah yang telah banyak berjasa kepada kerajaan akan mendapatkan gelar
sebagai depati. Marga terdiri dari
kumpulan beberapa dusun, yang setiap dusun dipimpin oleh seorang krio. Untuk kepala dusun yang
berkedudukan di pusat marga, menyandang gelar sebagai pembarap.
Pembarap juga bertugas sebagai pengganti pasirah apabila pasirah berhalangan
(Hidayah, 1993:45).
Sistem peradatan marga merupakan susunan masyarakat yang berdasarkan
adat dan hukum adat, serta memiliki wilayah tertentu. Marga pada masa
kesultanan hidup menurut adat yang berlaku menjiwai kehidupan marganya. Selain
itu masyarakatnya juga memiliki ikatan lahir batin yang kuat, yang memang
memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Marga
memiliki lembaga sendiri, perangkat hukum, dan acuan yang jelas dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat, serta tidak memiliki ketergantungan terhadap pihak
luar, karena memang mereka bisa melakukannya sendiri (Syawaluddin, 2010: 60).
Di samping pasirah sebagai
kepala marga, setiap marga juga mempunyai sekretaris yang disebut juru tulis.
Di bidang agama disebut penghulu dengan kepala urusan keagamaannya khatib.
Khatib dibantu kaum yang terdiri dari modim, lebai, bilal dan marbot. Khatib bertugas dan mencatat bilamana ada orang nikah,
cerai, dan rujuk, di samping juga kematian dan kelahiran. Khatib melapor pada penghulu,
penghulu melapor pada pasirah
sebagai kepala marga, sedangkan kaum memelihara
atau mengurus masjid, langgar, padasan
(Irwanto dkk, 2010:19).
Sistem
pemerintahan Kesultanan Palembang telah teroganisir dengan baik, dengan
dibentuknya masyarakat-masyarakat genelogis yang kokoh dan kuat. Sistem
pemerintahan yang mereka anut adalah sistem pemerintahan yang terdapat dari
mana mereka berasal. Struktur
pemerintahan Kesultanan Palembang dibagi atas pemerintahan Ibu Kota dan daerah
pedalaman. Daerah pedalaman sebagai daerah yang otonom terpilah-pilah dan
terpisahkan satu sama lain dalam bentuk pemerintahan marga. Marga berbentuk
sebuah wilayah administrasi genealogis, seketurunan (Irwanto dkk, 2010:12).
Wilayah Kesultanan
Palembang Darussalam terbagi ke dalam daerah ibukota, daerah sikap, daerah kepungutan,
dan daerah sindang. Ibukota sebagai pusat dari segala kegiatan sekaligus tempat
berdiamnya sultan. Daerah “sikap” merupakan sekumpulan dusun yang dilepaskan
dari marga. Dusun-dusun ini terletak di muara sungai yang strategis, dan mereka
mempunyai tugas-tugsa khusus untuk sultan, seperti tukang dayung perahu sultan,
tukang kayu, tukang pembawan air prajurit, dan berbagai tugas lainnya.
Sementara daerah “kepungutan” merupakan daerah yang langsung diperintah oleh
sultan. Menurut de Brauw “kepungut
berarti orang yang dipungut (dilindungi) dimaksudkan adalah orang-orang pedalaman
Palembang, yang langsung berada di bawah kekuasaan sultan”, Sultan menetapkan
segala pajak untuk daerah Kepungutan (Hanafiah, 2005: .10-15).
Status
masyarakat yang berdiam di kedua wilayah tersebut adalah sebagai matogawe dan matopajeg bagi sultan di ibukota. Dikatakan sebagai matogawe karena mereka dikenai kewajiban
untuk bekerja pada sultan di ibukota, sedangkan dikatakan matopajeg karena mereka dikenai kewajiban untuk membayar pajak
kepada sultan melalui wakil-wakil sultan di daerah pedalaman yang disebut
dengan jenang dan raban. Penduduk wilayah sikap dan kepungutan pada masa itu menganggap sultan sebagai
pemilik tanah. Adapun mereka sendiri adalah sebagai penunggu tanah sultan atau
dengan istilah setempat disebut “tunggu tanah rajo”. Mereka tidak boleh memiliki dan menguasai tanah tersebut. Mereka
hanya diperbolehkan untuk memanfaatkan dan karena itu mereka pun diwajibkan
untuk memberikan tenaga dan hasil pertanian dalam jumlah tertentu untuk sultan
di ibukota. Bagi penduduk sikap, yang mereka berikan adalah tenaga dan/atau
kerja. Adapun bagi penduduk kepungutan, yang mereka berikan adalah pajak berupa
hasil bumi baik yang berupa hasil dari sawah-sawah, kebun-kebun, ataupun segala
sesuatu yang dapat dihasilkan dari halaman rumah mereka (Faille, 1971: 41-43).
Untuk daerah Sikap dan Kepungutan diberlakukan “Undang-undang Simbur Cahaya”, yang digunakan sebagai landasan hukum adat daerah
tersebut. Undang-undang simbur
cahaya adalah nama yang
diambil dari nama sumber hukum adat setempat (Oendang-Oendang Simboer Tjahaja) yang disusun sejak masa
pemerintahan Pangeran Ratu Sending Pura (1623—1630). Secara umum, isi
undang-undang itu berkenaan dengan penjabaran hak-hak dan kewajiban anggota
masyarakat dalam berbagai tingkatan dan jenis kegiatan pada masa Kesultanan
Palembang. Ketimbang menekankan kewajiban-kewajiban sultan, undang-undang itu
lebih menekankan pada kewajiban-kewajiban rakyat (Barlian, 2001: 97).
Sementara itu, daerah “sindang”
merupakan daerah yang menjadi wilayah perbatasan yang tugasnya adalah menjaga
perbatasan Kesultanan Palembang. Daerah ini mengakui kekuasaan sultan, tetapi
mereka diberi kebebasan mengatur daerahnya sendiri.
Apabila di daerah kepungutan
dikenal dengan marga, maka kesukuan di daerah sindang dikenal dengan “sumbai” (Soetadji, 2000: 103).
Daerah ini dipandang sebagai daerah sekutu oleh pihak kesultanan, maka dari itu
daerah sindang diberi kebebasan dari kewajiban membayar pajak dan hanya
dikenakan cukai. Masyarakat daerah sindang sendiri tidak memiliki kewajiban
kecuali keharusan untuk seba (datang
menghadap). Daerah Sindang juga memiliki undang-undang yang berbeda dengan
daerah Kepungutan, mereka memiliki peraturan tersendiri yaitu “Undang-Undang Sindang Mardika” (Zed,
2003: 44).
Menurut
Peeters, kunci untuk memahami masyarakat sindang adalah kejuraian. Jurai
yang berarti keturunan adalah bentuk kekerabatan yang menganalogikan kepada
sebuah rumah tangga. Ketika sang ayah meninggal, maka semua saudara laki-laki
mendapat harta warisan tanpa dibagi sama sekali. Tanah yang termasuk harta
warisan akan dimanfaatkan bersama. Putra tertua dari sang ayah tersebut biasa
dijadikan sebagai pemimpin kelompok dengan nama jurai tuo. Akan tetapi, tidak selalu putra tertua yang diangkat
sebagai jurai tuo. Apabila di antara para pewaris ada yang memiliki kemampuan
lebih, maka ia dapat diangkat sebagai jurai tuo, meskipun hal seperti ini
termasuk menyimpang dari kebiasaan. Sebagai seorang jurai tuo, tugas mengelola
dan menanggungjawabi milik bersama kejuraian dipegang olehnya. Semua yang
dimiliki bersama ini tidak boleh diperdagangkan tanpa sepengetahuan semua
anggota kejuraian (Peeters, 1997: 46).
Poros utama
dalam kejuraian adalah poyang. Poyang sebagai orang pertama dalam struktur kejuraian adalah seseorang
pada kedudukan nenek moyang. Poyang inilah
yang dalam uraian sebelum ini dianggap sebagai sang ayah dalam sebuah kejuraian.
Kedudukan keluarga tehormat ditentukan oleh garis keturunan nenek moyang itu
yang juga sebagai pendatang awal di tempat tersebut. Darinya, turun-temurun jabatan kepala suku diwariskan. Adapun
masyarakat kesukuan kawasan sindang, sebagaimana sudah disebutkan, mereka hanya
tunduk pada kepala-kepala suku. Dalam keadaan seperti ini, poyang secara tidak langsung menjadi dasar
ideologis yang sering digunakan oleh para kepala suku itu untuk melawan
kekuasaan pemerintah kolonial. Sampai pada batas tertentu, masyarakat setempat
sering mengadakan upacara pemujaan kepada poyang melalui perantaraan seorang
dukun, meski bentuk pemujaan itu hanya terbatas pada wilayah yang dipengaruhi oleh
poyang tersebut. Selain itu, poyang juga menentukan kepemilikan berikut
kepewarisan tanah dan hubungan perkawinan. Oleh karena itu, poyang memiliki
pengaruh psikologis yang besar dalam kejuraian (Hidayah, 1993: 490)
|
2.3.2 Pada Masa Kolonial Belanda
Masyarakat pada masa
pemerintahan kolonial Belanda terdiri dari berbagai golongan yang oleh para
ahli ilmu sosial dibedakan menurut “color-line” atau “garis warna kulit”.
Golongan yang secara politik dan ekonomi menduduki tempat teratas dalam susunan
masyarakat itu adalah orang-orang Belanda. Secara politik kekuasaaannya
berpusat pada seorang Gubernur Jenderal
di Batavia yang dibantu oleh suatu Dewan
Hindia untuk bertindak sebagai kabinet dan tugasnya membawahi berbagai
departemen. Pejabat-pejabat birokrasi yang terpenting di daerah seperti, residen,
asisten residen, dan kontrolir. Elite birokrasi kolonial itu dikategorikan
sebagai Binnenlands Bestuur (BB)
(Leirissa, 1985: 5).
Harsono
(1992:55), menjelaskan dalam bukunya “hukum tata negara pemerintahan lokal dari
masa ke masa”. Tiap-tiap Keresidenan dipimpin oleh residen. Suatu keresidenan
dibagi ke dalam afdeeling-afdeeling yang dikepalai oleh asisten residen. Untuk
daerah afdeeling dibagi ke dalam onderafdeeling-onderafdeeling yang dikepalai
oleh kontrolir. Selanjutnya untuk setiap daerah onderafdeeling dibagi atas distrik-distrik
yang dari masing-masing distrik terdiri dari beberapa onderdistrik.
(nama-nama residen dapat dilihat di
halaman lampiran)
Gubernur Jenderal yang
menjadi kepala pemerintahan Hindia Belanda diangkat oleh kerajaan atas usul
dari Menteri Jajahan. Gubernur Jenderal biasanaya bertugas selama lima tahun
walaupun ini tidaklah ditentukan dengan suatu peraturan dan ada kemungkinan
untuk diperpendek atau diperpanjang sesuai dengan keadaan. Gubernur Jenderal
bertanggung jawab kepada kerajaan untuk menjalankan kebijaksanaan pemerintah
jajahan setempat, oleh karena itu Gubernur Jenderal merupakan penguasa
tertinggi di tanah jajahan. Gubernur Jendereal terikat dengan
peraturan-peraturan dari Menteri Jajahan di Den Hag. Karena jauhnya jarak
antara Negara Induk dengan tanah jajahan, memungkinkan Gubernur Jenderal untuk
bertindak bebas (Van Niel, 1964: 23).
Residen berada langsung
di bawah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda untuk memegang administrasi dan
peradilan di daerah. Residen tidak hanya memiliki kuasa dalam hal keuangan dan
administrasi, akan tetapi juga dalam tugas-tugas kepolisian dan tugas-tugas
peradilan, baik perdata maupun pidana. Residen juga berwenang untuk menetapkan
“segala macam perbuatan rakyat yang tidak tahu aturan dan bertentangan dengan
ketenteraman umum sebagai perbuatan yang akan dapat dipidana oleh polisi” (Wignjosoebroto,
2014: 17-18).
Di
bawah residen terdapat seorang asisten residen yang ditempatkan di setiap
afdeeling dan memiliki tanggung jawab penuh kepada residen yang ada di pusat
Keresidenan. Untuk membantu asisten residen, pemerintah Hindia-Belanda
menempatkan kontrolir (controuler) di
masing-masing onderafdeeling. Selain untuk tetap menjaga keamanan di setiap
onderafdeeling, kontrolir juga berperan sebagai pengawas pemasukan negara
(Simbolon, 2006:122).
Selain Binlandsche Bestuur (BB), terdapat juga
birokrasi pemerintah kolonial yang berasal dari masyarakat pribumi
dikategorikan ke dalam inlandsche Bestuur
(IB). Setelah pemerintah kolonial berhasil menguasai daerah pedalaman
Keresidenan Palembang, pemerintah kolonial Belanda menjadikan demang sebagai
administrasi Inlandsche Bestuur tertinggi.
Seorang demang mengepalai setiap distrik, dan setiap distrik terdiri dari
onderdistrik yang dikepalai oleh asisten demang. Mereka diharapkan dapat
berhubungan langsung dengan para pasirah dan penduduk marga. Untuk dapat
menjalankan kepentingan-kepentingan pemerintah yang menyangkut
kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda dan sumber daya alam pada
tingkat marga (Zed, 2003:57).
Palembang
menjadi suatu keresidenan ketika pemerintah kolonial Belanda berhasil
menguasainya. Penguasa tertinggi di Keresidenan Palembang adalah seorang residen yang dibantu oleh asisten residen disetiap afdeeling.
Afdeeling membawahi onderafdeeling yang dikepalai oleh kontrolir. Dalam menjalankan pemerintahannya, pemerintah kolonial
dibantu oleh para pejabat pribumi seperti demang
dan asisten demang untuk berhubungan
dengan masyaratak pribumi (Supriyanto, 2013: 46).
Pada masa pemerintahan
kolonial, sistem pemerintahan marga yang bersifat tradisional masih tetap
dipertahankan. Jabatan pemimpin suatu marga masih dipegang oleh seorang pesirah
atau depati. Masing-masing marga terdiri dari beberapa dusun yang dikepalai
oleh seorang kerio, sedangkan dusun di ibukota marga dikepalai oleh seorang
pembarap. Semua pejabat tradisional ini dipilih oleh penduduk yang mempunyai
hak memilih. Para pesirah yang terpilih disahkan dan diberhentikan oleh
residen. Untuk para pesirah yang telah menjalankan tugasnya selama 15 tahun,
biasanya diberhentikan dengan hormat oleh residen dengan diberi gelar
“pangeran”. Sebagai pejabat terkemuka di dalam marga/dusun, mereka bertugas
untuk meningkatkan pertanian dan peternakan, mengelola kekayaan alam/dusun, menarik
pajak dari penduduk setempat, dan terutama sebagai alat pemerintah kolonial
Belanda untuk memerintah di daerah marga (Abdullah, 1984/1985: 51).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar