SISTEM
PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA DI KERESIDENAN PALEMBANG (1825-1942)
4.1
Sistem Pemerintah Kolonial Belanda di Ibukota Keresidenan Palembang
Kota pada zaman
Hindia Belanda merupakan pusat dari segala kegiatan pemerintah kolonial. Baik
itu sebagai pusat administrasi dan birokrasi pemerintahan, maupun sebagai pusat
perekonomian. Segala sesuatu yang ada di perkotaan sengaja dibangun untuk
kepentiangan-kepentingan tersebut (Leirissa, 1985:10). Hal ini juga berlaku
untuk kota Palembang, yang memang pada masa Kesultanan Palembang Darussalam
menjadi pusat pemerintahan maupun pusat perekenomian.
Dalam
menjalankan pemerintahannya di derah-daerah Hindia-Belanda, pemerintah kolonial
Belanda menggolongkan pemerintahan menjadi dua yaitu, pemerintahan tidak
langsung dan pemerintahan langsung. Untuk menentukan kedua sistem tersebut
perlu dilihat dari dua faktor:
1.
Bagaimana
daerah tertentu menghadapi penetrasi kekuasaan kolonial, secara damai, atau
dengan perlawanan yang keras
2.
Seberapa
jauh kelembagaan politik dalam sistem lama, dapat berfungsi atau tidak dalam
situasi yang baru.
Apabila sistem pemerintahan
tidak langsung dipilih, maka penguasa setempat diakui otoritasnya. Namun
apabila sistem langsung dipilih, maka penguasa setempat tidak diakui
otoritasnya (Kartodirjo, 1987:348).
Pada masa awal
pemerintahan kolonial Belanda di Palembang, pemerintah kolonial menerapkan
sistem pemerintahan tidak langsung di Keresidenan Palembang. pemerintah
kolonial Belanda tidak memaksakan masyarakat pribumi agar mau langsung menerima
penguasa baru tersebut. Sampai dengan tahun 1850 Pemerintah kolonial masih
menggunakan penguasa pribumi di Ibukota Palembang sebagai penguat legitimasi
kekuasaan Belanda di Palembang. Jabatan tertinggi penguasa pribumi pada masa
awal pemerintah kolonial Belanda di Keresidenan Palembang, dipegang oleh
Pangeran Kramajaya yang mulai menjabat sebagai rijkbestuurder (perdana menteri) pada tahun 1823. Akibat banyaknya perlawanan
yang terjadi, seperti penyerangan masyarakat Pasemah ke Kota Palembang (1829),
Musi Ulu (1837), Rejang (1840), Ampat Lawang (1840-1850), pemerintah kolonial
Belanda menuduh Pangeran Kramajaya sebagai penggerak perlawanan. Sehingga pada
1850 Pangeran Kramajaya dipecat dari jabatan sebagai perdanan menteri dan
kemudian diasingkan ke pulau Jawa (Zed, 2003: 48).
Setelah
ditangkapnya Pangeran Kramajaya dan diberhentikannya para bangsawan-bangsawan
Palembang yang menjabat di Keresidenan Palembang, akhirnya pemerintahan di
Palembang secara penuh dipegang oleh kolonial Belanda dengan “residen” sebagai kepala Keresidenan yang
bertempat di kota Palembang. Pemerintah kolonial Belanda menjalankan
pemerintahannya secara “sentraistis”,
yaitu pemerintahan dijalankan dengan berpusat kepada Gubernur Jendral yang ada
di pusat pemerintahan Hindia-Belanda (Irwanto dkk, 2010:20).
Walaupun
dijadikan sebagai pusat dari Keresidenan Palembang, Kota Palembang juga menjadi
daerah administratif yang dikepalai oleh seorang kontrolir. Ketika Kota
Palembang di bawahi oleh seorang kontrolir, Kota Palembang berstatus sebagai hoofdplaats
dari Afdeeling Palembangsche Benedenlanden (Ibukota Palembang Hilir). Kedudukan kontrolir di Ibukota
Palembang berakhir ketika Kota Palembang berubah status menjadi sebuah “gemeente” pada 1906. Pada masa ini, Kota Palembang di bagi
menjadi dua distrik, yaitu “distrik Palembang Ilir” dan “distrik Palembang Ulu”.
Masing-masing distrik dipimpin oleh seorang demang
yang merupakan pegawai pribumi (Irwanto, 2011:125).
Wilayah Keresidenan Palembang dibagi ke
dalam daerah berbentuk afdeeling yang meliputi tiga afdeeling, yaitu:
1.
Afdeelingen Palembangsche Benedenlanden (Palembang Dataran Rendah) yang beribukota di
Palembang. Afdeeling ini terbagi
menjadi 5 (lima) onderafdeeling :
a. Onderafdeeling
Banjoe Asin en Koeboestreken dengan
ibukota dan kedudukan kontrolir di Talang Betutu
b. Onderafdeeling
Komering Hilir dengan
ibukota dan kedudukan kontrolir di Kajoe Agoeng
c.
Onderafdeeling Ogan Hilir dengan
ibukota dan kedudukan kontrolir di Tandjoeng Radja
d.
Onderafdeeling Moesi Hilir dengan
ibukota dan kedudukan kontrolir di Sekajoe
e.
Onderafdeeling Rawas dengan ibukota
dan kedudukan kontrolir di Soeroe Langoen
2.
Afdeelingen Palembangsche Bovenlanden (Palembang Daerah-daerah Dataran Tinggi) yang
beribukota di Lahat. Afdeeling ini terbagi menjadi 5
(lima) onderafdeeling :
a.
Onderafdeeling Lematang Hilir dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Moeara Enim.
b.
Onderafdeeling Lematang Oeloe dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Lahat.
c.
Onderafdeeling Pasemahlanden dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Pagar Alam.
d.
Onderafdeeling Tebing Tinggi dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Tebing Tinggi.
e.
Onderafdeeling Moesi Oeloe dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Moeara Bliti.
3.
Afdeelingen Ogan en Komering Oeloe yang beribukota di Baturaja. Afdeeling ini terbagi menjadi 3 (tiga) onderafdeeling :
a. Onderafdeeling Komering Oeloe dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Martapoera.
b. Onderafdeeling Ogan Oeloe dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Loeboek Batang.
c. Onderafdeeling Moeara Doea dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Moeara Doea (Irwanto dkk, 2010:
20-22). (wilayah
Keresidenan Palembang lihat pada halaman lampiran)
Makmoen (1984/1985:16)
menjelaskan, untuk masing-masing distrik, yaitu distrik Ilir dan distrik Ulu
membawahi beberapa onderdistrik yang dikepalai oleh asisten demang. Sedangkan
untuk onderdistrik itu sendiri membawahi beberapa kampung-kampung yang ada di masing-masing
distrik. Hal ini tentunya menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial sangat memperhatikan
administrasi untuk Kota Palembang sampai ke bagian terkecil sekalipun. Dengan
cara ini, pemerintah kolonial akan mampu mengawasi dan memegang kendali terhadap
pemerintahan yang ada di Kota Palembang. Mengingat, daerah Kota Palembang
dulunya merupakan pusat dari Kesultanan Palembang Darussalam yang tentunya
menimbulkan kekhawatiran dalam diri pemerintah kolonial Belanda akan adanya
ancaman dari sisa-sisa peninggalan Kesultanan Palembang.
Kampung-kampung yang
ada di Kota Palembang sebenarnya menggunakan nama-nama untuk menunjukkan
mayoritas pekerjaan penduduk kampung tersebut. Seperti halnya wilayah
sabokingking, Lemah Abang, Kepandean (wilayah
perajin pandai besi), Sayangan (perajin
tembaga), Kapuran, Merogan, Semajid, Kelenteng, Sungai Aur, Karang Belango, dan
seterusnya. Namun pada masa kolonial Belanda, semua nama-nama itu dihapuskan
dan digantikan dengan kampung-kampung yang bernomor. Seperti 2 Ilir, 3 Ilir, 18
Ilir, 15 Ilir, 20 Ilir, 1 Ulu, 4 Ulu 7 Ulu, 9 Ulu, 12 Ulu dan seterusnya. Sedangkan
untuk memimpin sebuah kampung di tunjuk seorang Kamp Master (pemimpin kampung). Penghapusan nama-nama kampung dan
sistem guguk yang sudah ada pada masa Kesultanan Palembang merupakan
langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mempermudah
dalam penarikan pajak di kota Palembang (Hanafiah, 1998:357).
(Nama-nama kampung daerah Ilir dan Ulu
kota Palembang lihat pada halaman lampiran)
Kepala kampung
mempunyai kewajiban menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, mengawasi
pelaksaan Gubernur dan menagih pajak. Kepala kampung bersifat independent, karena mereka bekerja tanpa
dana dari pemerintah. Kepala kampung tidak menerima gaji dari pemerintah
kolonial Belanda, akan tetapi menerima upah pungut pajak negara (colecteloon) dari hasil pungutan pajak
sebesar 8%. Selain kepala kampung, juga terdapat wijkmeester, yaitu suatu bentuk golongan administrasi dari beberapa
kampung. Wijkmeester juga memiliki
tugas yang sama seperti halnya kepala kampung. Untuk masyarakat Eropa dan Timur
Asing, mereka memiliki kepala kampung dengan gelar tersendiri. Seperti gelar
Letenan, Kapten, dan Mayor, yang merpakan gelar bagi kepala kampung masyarakat
Cina dan Arab. Kesemua kepala kampung yang ada itu berada di bawah tanggung
jawab demang, selaku pejabat pemerintah Belanda di tingkat lokal (Utomo dkk,
2012: 246).
Struktur pemerintahan kolonial Belanda
di kota Palembang pada masa sentralisasi
Pada masa selanjutnya,
banyak para pejabat kolonial Belanda yang menginginkan perubahan atas sistem
pemerintahan yang dipergunakan di tanah jajahan (Hindia Belanda). Seperti
halnya salah seorang pejabat kolonial yang bernama L.W.C Keuchenius. Pada tahun
1880 Ia menginginkan suatu sistem di mana warga Eropa dapat menyerukan suara
hati mereka. Ia menginginkan agar kebijakan dan urusan pemerintahan tidak lagi
terpusat pada Gubernur Jenderal. Hal ini kemudian didukung oleh W.K. Baron Van
Dedem yang mempunyai gagasan yang hampir sama dengan Keuchenius, yang
menginginkan perubahan dalam tatanan pemerintahan kolonial Belanda di tanah
jajahan (Hindia Belanda) (Wignjosoebroto, 2004: 4-5).
Dengan
proses yang cukup panjang untuk menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang
baru, akhirnya pada tahun 1903 pemerintah kolonial Belanda merubah sistem
pemerintahan yang telah lama ada. Perubahan dari sistem pemerintahan yang
selama ini bersifat “centralisatie”,
berubah menjadi sistem yang bersifat “decentralisatie”.
Banyak perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan kolonial di negeri
jajahan ini. Hal yang paling utama adalah, setiap pejabat tertinggi Belanda di
daerah tersebut berhak untuk mengambil sebuah keputusan yang berguna untuk
perkembangan dan kesejahteraan daerah (gewest)
tersebut tanpa harus melalui persetujuan ke Gubernur Jenderal. Tentunya hal ini
berbeda dengan sistem sebelumnya (centralisatie),
di mana pejabat tinggi suatu daerah jajahan di Hindia Belanda harus melapor
terlebih dahulu kepada pemerintah pusat (Gubernur Jenderal) (Hanafiah, 1998:
139).
Selain
untuk pendelegasian kekuasaan yang sebelumnya berpusat pada Gubernur Jendral,
sistem Desentralisasi ini juga dituntut untuk mampu menciptakan lembaga-lembaga
otonom yang mengatur urusan di gewest atau
daerah gewest. Sistem yang baru ini
juga memberikan wewenang kepada pemerintahan lokal agar dapat memisahakan
keuangan negara dan keuangan daerah. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan suatu
daerah yang mampu mandiri dalam mengurus pemerintahan lokal (Harsono, 1992:
57).
Penerapan sistem baru ini
juga diterapkan di Kota Palembang, dengan dikeluarkannya Staatsblad 1906 no 126
pada 1 April. Bahwa Kota Palembang statusnya ditetapkan sebagai sebuah “gemeente”. Dengan terbentuknya Kota Palembang
sebagai sebuah gemeente, Kota Palembang
berarti sudah menjadi sebuah kota otonom yang dipimpin oleh seorang “burgemeester” (walikota). Dalam
melaksanakan tugasnya, burgemeester ini
juga didampingi oleh para “gemeenteraad”
(Dewan Kota) yang teridiri dari penduduk Eropa, Pribumi, Timur Asing). Burgemeester beserta anggota Dewannya berhak untuk menentukan
penetapan pajak guna untuk pembangunan kota, mencegah bahaya kebakaran dan
pembuatan tempat-tempat penguburan (Staatsblad 1906 no 126).
Dewan kota (gemeenteraad)
berhak untuk mengumumkan kepada masyarakat tentang penerimaan dan pengeluaran
keuangan. Dewan kota juga mempunyai wewenang untuk menarik pajak dari
masyarakat Kota Palembang, guna untuk pemeliharaan, pembuatan jalan, pembuatan
jembatan dan untuk pembangunan Kota Palembang. Dana-dana yang terpenting dapat
dikuasai oleh dewan kota adalah sebagai berikut:Sistem kontrol pemerintah
kolonial Belanda terhadap Kota Palembang semakin dirasakan ketika Kota
Palembang berubah status menjadi sebuah gemeente
pada tahun 1906. Walaupun Ibukota Palembang telah ditetapkan menjadi gemeente Pada tahun 1906, pemerintahan
di Kota Palembang masih di pegang oleh seorang kontrolir. Barulah pada tahun1919
pemerintahan di Kota Palembang dipimpin oleh seorang burgemeester. Dengan berkuasanya seorang burgeemester di Kota
Palembang, semua kepala daerah yang ada tidak lagi terikat kepada seorang
kontrolir, melainkan berada di bawah kontrol penguasa baru tersebut (Irwanto, 2011:125).
1. Pajak Negara (pajak penghasilan, pajak pribadi)
2. Pajak dan retribusi (pajak jalan dan jembatan, pajak
kendaraan dan ala-alat angkut, pajak perizinan)
3. Pajak dari hasil perusahaan (perusahaan perumahan,
perusahaan air bersih, perusahaan pemotongan,perusahaan penyebrangan, dan
pasar) (Hanafiah, 1998:150).
Kota Palembang yang
merupakan pusat dari Keresidenan Palembang, sebelum berlakuknya Desentralisasi
masih berada di bawah pengawasan seorang kontrolir. Namun, setelah
diberlakukannya sistem desentralisasi, terciptalah struktur birokrasi
pemerintahan yang baru di Kota Palembang yaitu burgemeester dan gemeenterad
(dewan kota). Dewan kota yang ada di Kota Palembang, mempunyai wewenang untuk membuat
berbagai peraturan tentang pajak, urusan bangunan, serta fasilitas umum
seperti, jalan, jembatan, dan makam. (Utomo dkk, 2012: 244).
4.2
Sistem Pemerintah Kolonial Belanda di Pedalaman Keresidenan Palembang
Berbeda
dengan ibukota sebagai pusat dari hampir segala kegiatan, daerah pedalaman
merupakan pusat sumber daya alam sekaligus sebagai penjaga batas bagi daerah
ibukota dari ancaman musuh-musuh ketika Kesultanan Palembang masih berdiri
(Faille, 1971: 40).
Pedalaman
Palembang terbagi menjadi dua wilayah pemerintahan yang berbeda pada masa
kesultanan yaitu, daerah kepungutan dan daerah sindang. Perbedaan antara daerah
kepungutan dan sindang pada masa Kesultanan Palembang, nampaknya memberikan
kesulitan bagi pemerintah kolonial Belanda untuk menyatukan wilayah pedalaman
agar langsung berada di bawah kekuasaan Belanda. Ketika pemerintah kolonial
Belanda berhasil menguasai Kesultanan Palembang, daerah kepungutan yang lebih
dekat dengan ibukota tidak terlalu sulit untuk ditaklukan, namun berbeda dengan
daerah sindang yang masih sering melakukan perlawanan. Tercatat banyak
perlawanan masyarakat sindang kepada pemerintah Belanda seperti, serangan
Pasemah ke ibukota Palembang dan Lahat pada tahun 1829, Musi Ulu pada tahun
1837, Rejang pada tahun 1840, dan Ampat Lawang pada kurun waktu 1840—1850. Perlawanan yang sering terjadi ini merupakan
bentuk keinginan daerah pedalaman untuk menegakkan kembali Kesultanan Palembang
Darussalam (Zed, 2003: 48-49).
Pada masa
awal setelah pemerintahan kolonial menguasai Kesultanan Palembang, sistem
pemerintahan dijalankan dengan cara indirectbestuur.
Sistem yang dimaksud ini merupakan sistem pemerintahan yang dijalankan secara
dualisme, yaitu pejabat pemerintahan Belanda dan pemerintahan pribumi. Untuk pemerintahan Belanda,
diangkat para pejabat Belanda yang dikepalai oleh
seorang residen, sedangkan untuk pemerintahan pribumi diangkat para pejabat dari
kalangan bangsawan pada masa kesultanan yang dikepalai oleh seorang perdana
menteri. Baik pejabat Belanda maupun pribumi tersebut bertempat di
ibukota. Untuk daerah pedalaman, pemerintah Belanda menempatkan seorang asisten
residen yang bertempat di Tebing Tinggi sampai dengan tahun 1846, sementara itu
pemerintah pribumi dipimpin oleh kepala-kepala divisi dari kaum keluarga
keraton Palembang (Hanafiah, 1998: 87-88).
Walaupun pejabat
pribumi masih dilibatkan dalam pemerintah kolonial Belanda, namun itu tidak mencegah perlawanan-perlawanan
yang terjadi di daerah pedalaman, khususnya daerah Sindang. Banyaknya perlawanan
yang terjadi di daerah pedalaman, membuat pemerintah kolonial Belanda pada
tahun 1850 memecat Pangeran Kramajaya dari jabatannya sebagai perdana menteri
di ibukota. Pemerintah kolonial Belanda menuduh Pangeran Kramajaya sebagai
penggerak perlawanan yang banyak terjadi di daerah Pedalaman (Faille, 1971: 51-53).
Setelah pemecatan Pangeran Kramajaya sebagai perdana menteri,
sistem indirectbestuur dihapuskan
oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemecatan Pangeran Kramajaya dan banyaknya perlawanan
yang terjadi di daerah sindang menimbulkan kesadaran bagi pihak kolonial, bahwa
dengan berhasil ditaklukannya Kesultanan Palembang di ibukota dan daerah kepungutan,
bukan berarti wilayah Sindang bisa untuk langsung menerima kekuasaan kolonial
Belanda (Zed, 2003:49).
Setelah
penghapusan sistem indirectbestuur,
tahun 1852, asisten residen di Tebing Tinggi, J.F.R.S. van den Bossche,
diserahi tugas untuk melakukan kodifikasi atas hukum adat di daerah pedalaman.
Dari usaha tersebut ia menemukan bahwa di pedalaman, tiap-tiap daerah memiliki
rincian adat yang berbeda. Tidak praktis untuk melakukan kodifikasi secara umum
yang dapat diberlakukan di seluruh Keresidenan Palembang. Dapat dikatakan bahwa
adat yang ada berbeda atau diinterpretasikan dengan cara yang berbeda di
mana-mana. Apabila hukum adat ingin dipakai sebagai alat yuridis, maka perlu
diadakan unifikasi (Peeters, 1997: 89-90).
Sebagai
tindak lanjut adalah dengan menciptakan kodifikasi baru. Untuk tujuan ini, maka
diadakanlah rapat dengan para pasirah.
Hasil rapat itu adalah sebuah rancangan yang diberi nama “Undang-Undang Simbur Cahaya”. Setahun setelah itu, hasil dari
usaha tersebut yang disusun dalam bahasa Melayu diajukan kepada Residen
Palembang yang akan digunakan oleh para pegawai pemerintah kolonial Belanda dan
para pasirah. Pada saat itu, hasil kodifikasi tersebut disebut juga dengan
“Hukum Adat yang Umum Dipakai di Uluan Palembang.” Di dalam hasil kodifikasi
itu, terdapat lima bab aturan adat yang diberlakukan di seluruh wilayah
pedalaman Palembang. Kelima bab tersebut adalah (1) “Adat Perhukuman”, (2)
“Aturan Kaum”, (3) “Aturan Dusun dan Berladang”, (4) “Aturan Marga”, dan (5)
“Adat Bujang Gadis dan Perkawinan” (Barlian, 2001: 99-101).
Usaha
kodifikasi itu juga berjalan seiring dengan perubahan administratif Palembang. Para
kepala divisi di pedalaman Palembang, yang tugasnya sebagai perantara antara pasirah dan kontrolir dihapuskan dengan
keputusan pemerintah pada 13 Juni 1864. Penghapusan para kepala divisi ini merupakan
dampak dari perlawanan yang terus terjadi di daerah pedalaman. Selain itu juga
pemerintah kolonial Belanda menganggap kepala-kepala divisi itu sebagai
penyebar Islam yang fanatik dan berbahaya di tengah penduduk yang masih belum
menerima penuh kekuasaan pemerintah kolonial (Peeters, 1997: 79)
Perlawanan-perlawanan
di pedalaman mulai bisa diamankan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda pada
pertengahan abad ke-19. Tercatat, perlawanan terakhir terjadi di wilayah
Pasemah dan berhasil ditaklukan pada 1866. Melalui keputusan Pemerintah pada
tanggal 22 Juli 1867, akhirnya Pasemah Sindang Mardika dihapuskan dan wilayah
Pasemah dimasukkan ke dalam Onderafdeeling Lematang Ulu (Mahruf, 1999:100). Setelah itu, wilayah Palembang terbagi menjadi sembilan afdeeling
yang terdiri dari Ibukota Palembang, Tebing Tinggi, Ogan-Komering Ulu dan Enim,
Lematang Ulu dan Ilir, Rawas, Musi Ilir, Ogan Ilir, dan Komering Ilir serta
Iliran dan Banyuasin (Hanafiah, 1998: 91 “mengutip dari Regeering Almanak
1870”).
Marga-marga yang merupakan
unit administraf terkecil dalam pemerintahan kolonial, sempat dihapuskan pada
tahun 1875. Posisi pasirah digantikan dengan “Dewan Kepala Bumiputra” yang
dipilih langsung oleh masyarakat dusun setempat. Pemerintah kolonial Belanda
menganggap sistem marga terlalu kecil untuk dijadikan satu kesatuan daerah
hukum teritorial yang berdiri sendiri, dan terlalu besar untuk dijadikan daerah
administratif. Kebijakan ini juga merupakan bentuk usaha pemerintah kolonial
untuk melakukan penetrasi sampai ketingkat dusun di daerah marga (Syawaludin,
2010:70).
Kekuasaan pesirah di
setiap marga juga menjadi landasan pemerintah kolonial untuk menghapuskan
sistem marga. Pasirah merupakan figur sentral yang tiada bandinganya di tingkat
marga. Konsolidasi kekuasaan kolonial Belanda, yang pada masa awal pemerintahan
masih sebatas Ibukota Palembang, membuat kedudukan pasirah semakin kuat. Dengan
dihapuskannya marga, pemerintah kolonial Belanda berharap dapat berhubungan langsung dengan
pejabat-pejabat baru (Dewan kepala Bumiputra) ciptaanya. Namun kebijakan
penghapusan marga tidak dapat berjalan sepenuhnya. Sehingga sistem marga
dihidupkan kembali pada tahun 1884 (Zed, 2003:54-55).
Sistem marga yang dianggap pemerintah kolonial bersifat tradisional,
dicoba untuk dihapuskan karena dianggap akan menjadi penghalang bagi
berkembangnya sistem modern. Untuk hal ini, secara politisi perubahan dilakukan
oleh pemerintah kolonial Belanda berupa hal otonomi dan prinsip dari
masing-masing marga. Marga yang dalam hal otonomi didasarkan pada prinsip
etnis, kesukuan dan genelogis diubah menjadi otonomi yang bersifat teritorial.
jadi dalam cara pandang baru ini, marga-marga tidak dibiarkan hidup terpisah
satu sama lain menurut selera sukunya masing-masing (Irwanto dkk, 2010:28).
Penggabungan marga-marga yang bersifat teritorial ini dapat dilihat dari
penyusutan jumlah marga yang terjadi di Pedalaman Palembang. Pada 1870, masih
terdapat sejumlah 222 marga, sedangkan pada 1910 jumlah itu telah berkurang
menjadi 180 marga. Selain terjadi pembentukan kesatuan masyarakat teritorial,
penggabungan tersebut juga memaksa persaingan potensial yang dapat mengarah
kepada konflik politik tingkat lokal antar bekas pasirah berikut para pendukung
masing-masing dari marga-marga yang ada sebelum penggabungan (Zed, 2003:53).
(jumlah
marga di Keresidenan Palembang lihat pada halaman lampiran)
Potensi konflik internal itu ada karena mengingat bahwa marga-marga
bermula dari kesatuan masyarakat geneologis. Dalam masyarakat seperti ini, yang
menjadi dasar pengikat kolektifitas penduduk adalah poyang. Masing-masing penduduk mengidentifikasikan diri pada
hubungan darah dengan poyang. Marga-marga yang bersifat geneologis
masing-masing memiliki poyang yang membuka permukiman pertama kali di tempat
itu. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bila pasirah yang dipilih pertama kali
untuk memimpin marga hasil penggabungan itu adalah keturunan langsung poyang dan dapat dimaklumi pula bila masih
terdapat suara-suara yang menyatakan ketidak setujuan dari pihak yang berlainan
poyang (peeters, 1997:219).
Para pasirah adalah
orang-orang yang dipercaya untuk menyampaikan segala urusan dan keberatan
rakyat kepada pemerintah kolonial. Bagi pemerintah kolonial sendiri, para
pasirah adalah orang yang dipercayakan untuk menyampaikan segala urusan ke
dusun-dusun. Mereka semacam the middle man
yang telah digaji tetap dan memiliki seragam. Dalam kekuasaan untuk mengurusi
otonomi marga, mereka tampak sebagai seorang raja di mata rakyat masing-masing.
Kewibawaan mereka masih diperhitungkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Untuk
menarik hati para pasirah, pemerintah kolonial Belanda juga memberikan
penghargaan berupa gelar pangeran kepada para pasirah yang telah dianggap
berjasa kepada pemerintah kolonial. (Hidayah, 1993:47).
Sejalan dengan itu,
Irwanto (2010:25) berpendapat, setelah pemerintah kolonial Belanda menghapuskan
Kesultanan Palembang pada 1825 sampai dengan tahun 1900-an, mereka masih berusaha
menata kehidupan berpolitik dan ekonomi di Keresidenan Palembang. Artinya,
sebelum tahun 1900-an, daerah-daerah pedalaman, khusunya uluan (sindang) dari Keresidenan
Palembang masih merupakan wilayah yang “belum” terjamah secara penuh oleh pemerintah
kolonial. Kontrolir yang ada di pedalaman hanya masih bersifat sebagai pengawas
saja, belum bertindak sebagai pelaksana. Pengawasan ini dalam hal pengontrolan
terhadap pembesar-pembesar bekas Kesultanan Palembang atau pada para wakil
Kesultanan Palembang yang merupakan suatu usaha pencegahan terhadap pengaruh supaya
jangan tertanam di dalam penduduk pedalaman,
untuk membangkitkan kembali kekuasaan pembesar Kesultanan Palembang yang lari
ke pedalaman. Bahkan, birokrasi pemerintah kolonial Belanda di Palembang tidak
pernah sampai ke tingkat dusun di daerah pedalaman.
Pada tahun 1912 pemerintah kolonial Belanda menjalankan sistem districtbestuur. Sistem administrasi
pemerintah yang tertuang dalam Staatblad no.
233 tahun 1912 itu berisi pembagian wilayah-wilayah pedalaman Palembang ke
dalam distrik-distrik. Dalam setiap distrik, terdapat onderdistrik-onderdistrik
yang membawahkan marga-marga. Setiap distrik dikepalai oleh seorang pejabat
pribumi yang disebut dengan demang,
sedangkan onderdistrik dikepalai oleh seorang asisten demang. Mereka yang diharapkan dapat berhubungan langsung
dengan para pasirah dan penduduk marga untuk kepentingan-kepentingan pemerintah
yang menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda dan sumber daya
alam pada tingkat marga (Alfian, 1983/1984: 58).
Birokrasi pemerintah kolonial Belanda baru efektif menerobos daerah
pedalaman justru setelah 1912 ketika pemberlakuan sistem districtbestuur yang mulai menandai keterciptaan suatu “integrasi” daerah
pedalaman (kepungutan dan sindang). Baik demang maupun asisten demang,
tergabung ke dalam korps pegawai pemerintahan kolonial Belanda. Mereka adalah
pejabat administratif tertinggi yang dipegang oleh pribumi dan bertanggung
jawab kepada kontrolir sebagai pejabat administatif terendah yang dipegang oleh
bangsa Eropa. Keberadaan pegawai-pegawai birokrat pribumi ini lebih lanjut
dikatakan sebagai tanda kemunculan dualisme dalam struktur birokrasi pemerintah
Belanda di Keresidenan Palembang. Sebelum itu, meski sempat ada para kepala
divisi yang terdiri dari orang-orang pribumi, pegawai-pegawai yang mengepalai
unit administrasi adalah para pejabat Belanda yang dikenal sebagai Binnenland Bestuur (BB). Setelah 1912,
mulailah dikenal inlandsche bestuur
(IB) yang terdiri tidak hanya dari demang dan asisten demang. (Zed, 2003:
57-58).
Pada
tahun 1919, dengan dikeluarkannya Staatblad No. 814 tahun 1919, marga di
Palembang ditetapkan menjadi satu kesatuan pemerintahan yang terendah di
Keresidenan Palembang (Indlandsche
Ordonantie). Peraturan dalam marga adalah sebagai berikut :
1.
Marga adalah masyarakat hukum adat berfungsi sebagai kesatuan
wilayah pemerintah terdepan dalam rangka pemerintah Hindia Belanda dan
merupakan badan hukum di Hindia Belanda.
2.
Marga berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum
adat.
3.
Susunan pemerintah marga yang terdiri atas kepala marga, dan
kepala-kepala adat yang duduk dilembaga dewan marga lainnya, biasanya
bentuk dan susunan pemerintahan ditentukan menurut hukum adat.
4.
Pemerintahan marga didampingi dewan marga yang membuat
peraturan-peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat. (Abdullah dkk,
1984/1985:51).
Peraturan-peraturan marga harus disahkan oleh instansi atasan sebelum berlaku dan diumumkan. Marga membuat peraturan sendiri dan melaksanakan sendiri peraturannya. Peraturan ini dijalankan di bawah pengawasan instansi atasan, yakni kepala onderafdeeling yang dijabat orang Belanda disebut controleur yang dibantu oleh ambtenar-ambtenar yang dijabat orang bumi putera yaitu demang yang membawahi dua atau tiga orang asisten demang. Pada tingkatan yang lebih tinggi, dua atau lebih wilayah onderafdeeling dijabat seorang asisten residen sebagai kepala afdeeling yang membawahi dan mengawasi para kontrolir atas nama residen sebagai kepala keresidenan (Irwanto dkk, 2010:19). |
Seiring dengan diberlakukannya (Indlandsche Ordonantie) tersebut, pada tingkat marga dibentuk pula dewan-dewan marga (Margaraden). Tujuan pembentukan dewan ini adalah untuk mengendalikan segala kepentingan rumah tangga marga. Dewan marga beranggotakan 26 orang yang terdiri dari seorang pasirah, seorang pembarap, delapan belas orang kerio (proatin), dan enam belas orang anggota pilihan yang dianggap memiliki perhatian atas kemajuan-kemajuan di dalam marga. Dewan marga memiliki wewenang untuk, (1) menetapkan anggaran belanja dan perhitungan anggaran, (2) membuat peraturan-peraturan yang dalam pelaksanaan dapat membebankan kewajiban keuangan kepada penduduk marga atau justru dewanlah yang memikul kewajiban tersebut, dan (3) menetapkan peraturan-peraturan marga berikut sanksi bagi yang melanggar peraturan-peraturan tersebut (Hanafiah, tt.:45)
Dengan
disahkannya marga sebagai Indlandsche
Ordonantie oleh pemerintah kolonial Belanda, itu berarti marga semakin
berada di bawah pengaruh pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun 1923 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan
“aturan pengadilan asli di tanah seberang” (Regeling
Van De Imheemsche Rechstpraak Buitengewesten). Di Keresidenan Palembang,
aturan pelaksanaannya diatur dengan Besluit Residen Palembang tanggal 23
Oktober 1933 No. 803. Dengan adanya aturan pelaksanaan ini, maka rapat di
daerah Pedalaman Palembang dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu:
1.
Rapat Marga, yang dipimpin oleh Pasirah atau kepala
marga
2.
Rapat Kecil
3.
Rapat Besar, yang dipimpin oleh kepala onderafdeeling atau oleh pejabat
pemerintah Belanda yang ditunjuk oleh residen (Ismail, 2004:37).
Untuk dapat
memasukkan daerah pedalaman ini ke dalam sistem
pemerintahan kolonial Belanda, pemerintah kolonial terlihat sangat
berhati-hati untuk dapat menerobos
sistem tradisional tersebut. Sampai dengan berakhirnya masa keresidenan, sistem
pemerintahan di pedalaman Palembang terlihat dijalankan secara dualistik, yaitu
disatu sisi mereka menerapkan hukum negara, namun pada sisi lain mereka tetap
mengakui adanya hukum adat. Sumber aturan di Keresidenan Palembang yang
dualistis ini, secara kasat mata, tergambar sebagai berikut:
1.
Mengikuti dari sumber hukum yang berasal dari gubernur (pusat), misalnya
dasar hukum di Hindia Belanda
2.
Mengikuti sumber hukum sendiri, aturan adat. Adat ini menitik beratkan pada pemutusan perkara yang
didahului dengan rapat marga atau rapat dusun (Irwanto dkk, 2010:22).
BalasHapusApakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!
1"Dikejar-kejar hutang
2"Selaluh kalah dalam bermain togel
3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel
4"Anda udah kem***-m*** tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat
5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
tapi tidak ada satupun yang berhasil..
Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI JAYA WARSITO akan membantu
anda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
butuh angka togel 2D ,4D, 6D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
100% jebol
Apabila ada waktu
silahkan Hub: KI JAYA WARSITO DI NO: [[[085-321-606-847]]]
ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D
ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/
ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND
ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D
DAN PESUGIHAN TUYUL