Jumat, 03 Juli 2015

Sistem Pemerintahan Kolonial Belanda di Keresidenan Palembang (1825-1942) Bagian II

SISTEM PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA DI KERESIDENAN PALEMBANG (1825-1942)

4.1 Sistem Pemerintah Kolonial Belanda di Ibukota Keresidenan Palembang
            Kota pada zaman Hindia Belanda merupakan pusat dari segala kegiatan pemerintah kolonial. Baik itu sebagai pusat administrasi dan birokrasi pemerintahan, maupun sebagai pusat perekonomian. Segala sesuatu yang ada di perkotaan sengaja dibangun untuk kepentiangan-kepentingan tersebut (Leirissa, 1985:10). Hal ini juga berlaku untuk kota Palembang, yang memang pada masa Kesultanan Palembang Darussalam menjadi pusat pemerintahan maupun pusat perekenomian.
Dalam menjalankan pemerintahannya di derah-daerah Hindia-Belanda, pemerintah kolonial Belanda menggolongkan pemerintahan menjadi dua yaitu, pemerintahan tidak langsung dan pemerintahan langsung. Untuk menentukan kedua sistem tersebut perlu dilihat dari dua faktor:
1.      Bagaimana daerah tertentu menghadapi penetrasi kekuasaan kolonial, secara damai, atau dengan perlawanan yang keras
2.      Seberapa jauh kelembagaan politik dalam sistem lama, dapat berfungsi atau tidak dalam situasi yang baru.
Apabila sistem pemerintahan tidak langsung dipilih, maka penguasa setempat diakui otoritasnya. Namun apabila sistem langsung dipilih, maka penguasa setempat tidak diakui otoritasnya (Kartodirjo, 1987:348).
Pada masa awal pemerintahan kolonial Belanda di Palembang, pemerintah kolonial menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung di Keresidenan Palembang. pemerintah kolonial Belanda tidak memaksakan masyarakat pribumi agar mau langsung menerima penguasa baru tersebut. Sampai dengan tahun 1850 Pemerintah kolonial masih menggunakan penguasa pribumi di Ibukota Palembang sebagai penguat legitimasi kekuasaan Belanda di Palembang. Jabatan tertinggi penguasa pribumi pada masa awal pemerintah kolonial Belanda di Keresidenan Palembang, dipegang oleh Pangeran Kramajaya yang mulai menjabat sebagai rijkbestuurder (perdana menteri) pada tahun 1823. Akibat banyaknya perlawanan yang terjadi, seperti penyerangan masyarakat Pasemah ke Kota Palembang (1829), Musi Ulu (1837), Rejang (1840), Ampat Lawang (1840-1850), pemerintah kolonial Belanda menuduh Pangeran Kramajaya sebagai penggerak perlawanan. Sehingga pada 1850 Pangeran Kramajaya dipecat dari jabatan sebagai perdanan menteri dan kemudian diasingkan ke pulau Jawa (Zed, 2003: 48).
            Setelah ditangkapnya Pangeran Kramajaya dan diberhentikannya para bangsawan-bangsawan Palembang yang menjabat di Keresidenan Palembang, akhirnya pemerintahan di Palembang secara penuh dipegang oleh kolonial Belanda dengan “residen” sebagai kepala Keresidenan yang bertempat di kota Palembang. Pemerintah kolonial Belanda menjalankan pemerintahannya secara “sentraistis”, yaitu pemerintahan dijalankan dengan berpusat kepada Gubernur Jendral yang ada di pusat pemerintahan Hindia-Belanda (Irwanto dkk, 2010:20).
          Walaupun dijadikan sebagai pusat dari Keresidenan Palembang, Kota Palembang juga menjadi daerah administratif yang dikepalai oleh seorang kontrolir. Ketika Kota Palembang di bawahi oleh seorang kontrolir, Kota Palembang berstatus sebagai hoofdplaats dari Afdeeling Palembangsche Benedenlanden (Ibukota Palembang Hilir). Kedudukan kontrolir di Ibukota Palembang berakhir ketika Kota Palembang berubah status menjadi sebuah “gemeente” pada 1906. Pada masa ini, Kota Palembang di bagi menjadi dua distrik, yaitu “distrik Palembang Ilir” dan “distrik Palembang Ulu”. Masing-masing distrik dipimpin oleh seorang demang yang merupakan pegawai pribumi (Irwanto, 2011:125).
          Wilayah Keresidenan Palembang dibagi ke dalam daerah berbentuk afdeeling yang meliputi tiga afdeeling, yaitu:
1.      Afdeelingen Palembangsche Benedenlanden (Palembang Dataran Rendah) yang beribukota di Palembang. Afdeeling ini terbagi menjadi 5 (lima) onderafdeeling :
a.       Onderafdeeling Banjoe Asin en Koeboestreken dengan ibukota dan kedudukan kontrolir di Talang Betutu
b.      Onderafdeeling Komering Hilir dengan ibukota dan kedudukan kontrolir di Kajoe Agoeng
c.       Onderafdeeling Ogan Hilir dengan ibukota dan kedudukan kontrolir di Tandjoeng Radja
d.      Onderafdeeling Moesi Hilir dengan ibukota dan kedudukan kontrolir di Sekajoe
e.       Onderafdeeling Rawas dengan ibukota dan kedudukan kontrolir di Soeroe Langoen
2.      Afdeelingen Palembangsche Bovenlanden (Palembang Daerah-daerah Dataran Tinggi) yang beribukota di Lahat. Afdeeling ini terbagi menjadi 5 (lima) onderafdeeling :
a.       Onderafdeeling Lematang Hilir dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Moeara Enim.
b.      Onderafdeeling Lematang Oeloe dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Lahat.
c.       Onderafdeeling Pasemahlanden dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Pagar Alam.
d.      Onderafdeeling Tebing Tinggi dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Tebing Tinggi.
e.       Onderafdeeling Moesi Oeloe dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Moeara Bliti.
3.      Afdeelingen Ogan en Komering Oeloe yang beribukota di Baturaja. Afdeeling ini terbagi menjadi 3 (tiga) onderafdeeling :
a.      Onderafdeeling Komering Oeloe dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Martapoera.
b.      Onderafdeeling Ogan Oeloe dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Loeboek Batang.
c.       Onderafdeeling Moeara Doea dengan ibukota dan kedudukan kontrolir berada di Moeara Doea (Irwanto dkk, 2010: 20-22). (wilayah Keresidenan Palembang lihat pada halaman lampiran)
Makmoen (1984/1985:16) menjelaskan, untuk masing-masing distrik, yaitu distrik Ilir dan distrik Ulu membawahi beberapa onderdistrik yang dikepalai oleh asisten demang. Sedangkan untuk onderdistrik itu sendiri membawahi beberapa kampung-kampung yang ada di masing-masing distrik. Hal ini tentunya menunjukkan bagaimana pemerintah kolonial sangat memperhatikan administrasi untuk Kota Palembang sampai ke bagian terkecil sekalipun. Dengan cara ini, pemerintah kolonial akan mampu mengawasi dan memegang kendali terhadap pemerintahan yang ada di Kota Palembang. Mengingat, daerah Kota Palembang dulunya merupakan pusat dari Kesultanan Palembang Darussalam yang tentunya menimbulkan kekhawatiran dalam diri pemerintah kolonial Belanda akan adanya ancaman dari sisa-sisa peninggalan Kesultanan Palembang.
Kampung-kampung yang ada di Kota Palembang sebenarnya menggunakan nama-nama untuk menunjukkan mayoritas pekerjaan penduduk kampung tersebut. Seperti halnya wilayah sabokingking, Lemah Abang, Kepandean (wilayah perajin pandai besi), Sayangan (perajin tembaga), Kapuran, Merogan, Semajid, Kelenteng, Sungai Aur, Karang Belango, dan seterusnya. Namun pada masa kolonial Belanda, semua nama-nama itu dihapuskan dan digantikan dengan kampung-kampung yang bernomor. Seperti 2 Ilir, 3 Ilir, 18 Ilir, 15 Ilir, 20 Ilir, 1 Ulu, 4 Ulu 7 Ulu, 9 Ulu, 12 Ulu dan seterusnya. Sedangkan untuk memimpin sebuah kampung di tunjuk seorang Kamp Master (pemimpin kampung). Penghapusan nama-nama kampung dan sistem guguk yang sudah ada pada masa Kesultanan Palembang merupakan langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mempermudah dalam penarikan pajak di kota Palembang (Hanafiah, 1998:357).
(Nama-nama kampung daerah Ilir dan Ulu kota Palembang lihat pada halaman lampiran)
Kepala kampung mempunyai kewajiban menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, mengawasi pelaksaan Gubernur dan menagih pajak. Kepala kampung bersifat independent, karena mereka bekerja tanpa dana dari pemerintah. Kepala kampung tidak menerima gaji dari pemerintah kolonial Belanda, akan tetapi menerima upah pungut pajak negara (colecteloon) dari hasil pungutan pajak sebesar 8%. Selain kepala kampung, juga terdapat wijkmeester, yaitu suatu bentuk golongan administrasi dari beberapa kampung. Wijkmeester juga memiliki tugas yang sama seperti halnya kepala kampung. Untuk masyarakat Eropa dan Timur Asing, mereka memiliki kepala kampung dengan gelar tersendiri. Seperti gelar Letenan, Kapten, dan Mayor, yang merpakan gelar bagi kepala kampung masyarakat Cina dan Arab. Kesemua kepala kampung yang ada itu berada di bawah tanggung jawab demang, selaku pejabat pemerintah Belanda di tingkat lokal (Utomo dkk, 2012: 246).
Struktur pemerintahan kolonial Belanda di kota Palembang pada masa sentralisasi
Pada masa selanjutnya, banyak para pejabat kolonial Belanda yang menginginkan perubahan atas sistem pemerintahan yang dipergunakan di tanah jajahan (Hindia Belanda). Seperti halnya salah seorang pejabat kolonial yang bernama L.W.C Keuchenius. Pada tahun 1880 Ia menginginkan suatu sistem di mana warga Eropa dapat menyerukan suara hati mereka. Ia menginginkan agar kebijakan dan urusan pemerintahan tidak lagi terpusat pada Gubernur Jenderal. Hal ini kemudian didukung oleh W.K. Baron Van Dedem yang mempunyai gagasan yang hampir sama dengan Keuchenius, yang menginginkan perubahan dalam tatanan pemerintahan kolonial Belanda di tanah jajahan (Hindia Belanda) (Wignjosoebroto, 2004: 4-5).
            Dengan proses yang cukup panjang untuk menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang baru, akhirnya pada tahun 1903 pemerintah kolonial Belanda merubah sistem pemerintahan yang telah lama ada. Perubahan dari sistem pemerintahan yang selama ini bersifat “centralisatie”, berubah menjadi sistem yang bersifat “decentralisatie”. Banyak perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan kolonial di negeri jajahan ini. Hal yang paling utama adalah, setiap pejabat tertinggi Belanda di daerah tersebut berhak untuk mengambil sebuah keputusan yang berguna untuk perkembangan dan kesejahteraan daerah (gewest) tersebut tanpa harus melalui persetujuan ke Gubernur Jenderal. Tentunya hal ini berbeda dengan sistem sebelumnya (centralisatie), di mana pejabat tinggi suatu daerah jajahan di Hindia Belanda harus melapor terlebih dahulu kepada pemerintah pusat (Gubernur Jenderal) (Hanafiah, 1998: 139).
            Selain untuk pendelegasian kekuasaan yang sebelumnya berpusat pada Gubernur Jendral, sistem Desentralisasi ini juga dituntut untuk mampu menciptakan lembaga-lembaga otonom yang mengatur urusan di gewest atau daerah gewest. Sistem yang baru ini juga memberikan wewenang kepada pemerintahan lokal agar dapat memisahakan keuangan negara dan keuangan daerah. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan suatu daerah yang mampu mandiri dalam mengurus pemerintahan lokal (Harsono, 1992: 57).
Penerapan sistem baru ini juga diterapkan di Kota Palembang, dengan dikeluarkannya Staatsblad 1906 no 126 pada 1 April. Bahwa Kota Palembang statusnya ditetapkan sebagai sebuah “gemeente”. Dengan terbentuknya Kota Palembang sebagai sebuah gemeente, Kota Palembang berarti sudah menjadi sebuah kota otonom yang dipimpin oleh seorang “burgemeester” (walikota). Dalam melaksanakan tugasnya, burgemeester ini juga didampingi oleh para “gemeenteraad” (Dewan Kota) yang teridiri dari penduduk Eropa,  Pribumi, Timur Asing). Burgemeester beserta anggota Dewannya berhak untuk menentukan penetapan pajak guna untuk pembangunan kota, mencegah bahaya kebakaran dan pembuatan tempat-tempat penguburan (Staatsblad 1906 no 126).  
       Dewan kota (gemeenteraad) berhak untuk mengumumkan kepada masyarakat tentang penerimaan dan pengeluaran keuangan. Dewan kota juga mempunyai wewenang untuk menarik pajak dari masyarakat Kota Palembang, guna untuk pemeliharaan, pembuatan jalan, pembuatan jembatan dan untuk pembangunan Kota Palembang. Dana-dana yang terpenting dapat dikuasai oleh dewan kota adalah sebagai berikut:Sistem kontrol pemerintah kolonial Belanda terhadap Kota Palembang semakin dirasakan ketika Kota Palembang berubah status menjadi sebuah gemeente pada tahun 1906. Walaupun Ibukota Palembang telah ditetapkan menjadi gemeente Pada tahun 1906, pemerintahan di Kota Palembang masih di pegang oleh seorang kontrolir. Barulah pada tahun1919 pemerintahan di Kota Palembang dipimpin oleh seorang burgemeester. Dengan berkuasanya seorang burgeemester di Kota Palembang, semua kepala daerah yang ada tidak lagi terikat kepada seorang kontrolir, melainkan berada di bawah kontrol penguasa baru tersebut  (Irwanto, 2011:125).
1.      Pajak Negara (pajak penghasilan, pajak pribadi)
2.    Pajak dan retribusi (pajak jalan dan jembatan, pajak kendaraan dan ala-alat angkut, pajak perizinan)
3.  Pajak dari hasil perusahaan (perusahaan perumahan, perusahaan air bersih, perusahaan pemotongan,perusahaan penyebrangan, dan pasar) (Hanafiah, 1998:150).
Kota Palembang yang merupakan pusat dari Keresidenan Palembang, sebelum berlakuknya Desentralisasi masih berada di bawah pengawasan seorang kontrolir. Namun, setelah diberlakukannya sistem desentralisasi, terciptalah struktur birokrasi pemerintahan yang baru di Kota Palembang yaitu burgemeester dan gemeenterad (dewan kota). Dewan kota yang ada di Kota Palembang, mempunyai wewenang untuk membuat berbagai peraturan tentang pajak, urusan bangunan, serta fasilitas umum seperti, jalan, jembatan, dan makam. (Utomo dkk, 2012: 244).

4.2 Sistem Pemerintah Kolonial Belanda di Pedalaman Keresidenan Palembang
Berbeda dengan ibukota sebagai pusat dari hampir segala kegiatan, daerah pedalaman merupakan pusat sumber daya alam sekaligus sebagai penjaga batas bagi daerah ibukota dari ancaman musuh-musuh ketika Kesultanan Palembang masih berdiri (Faille, 1971: 40).
Pedalaman Palembang terbagi menjadi dua wilayah pemerintahan yang berbeda pada masa kesultanan yaitu, daerah kepungutan dan daerah sindang. Perbedaan antara daerah kepungutan dan sindang pada masa Kesultanan Palembang, nampaknya memberikan kesulitan bagi pemerintah kolonial Belanda untuk menyatukan wilayah pedalaman agar langsung berada di bawah kekuasaan Belanda. Ketika pemerintah kolonial Belanda berhasil menguasai Kesultanan Palembang, daerah kepungutan yang lebih dekat dengan ibukota tidak terlalu sulit untuk ditaklukan, namun berbeda dengan daerah sindang yang masih sering melakukan perlawanan. Tercatat banyak perlawanan masyarakat sindang kepada pemerintah Belanda seperti, serangan Pasemah ke ibukota Palembang dan Lahat pada tahun 1829, Musi Ulu pada tahun 1837, Rejang pada tahun 1840, dan Ampat Lawang pada kurun waktu 1840—1850.  Perlawanan yang sering terjadi ini merupakan bentuk keinginan daerah pedalaman untuk menegakkan kembali Kesultanan Palembang Darussalam (Zed, 2003: 48-49).
Pada masa awal setelah pemerintahan kolonial menguasai Kesultanan Palembang, sistem pemerintahan dijalankan dengan cara indirectbestuur. Sistem yang dimaksud ini merupakan sistem pemerintahan yang dijalankan secara dualisme, yaitu pejabat pemerintahan Belanda dan pemerintahan pribumi. Untuk pemerintahan Belanda, diangkat para pejabat Belanda yang dikepalai oleh seorang residen, sedangkan untuk pemerintahan pribumi diangkat para pejabat dari kalangan bangsawan pada masa kesultanan yang dikepalai oleh seorang perdana menteri. Baik pejabat Belanda maupun pribumi tersebut bertempat di ibukota. Untuk daerah pedalaman, pemerintah Belanda menempatkan seorang asisten residen yang bertempat di Tebing Tinggi sampai dengan tahun 1846, sementara itu pemerintah pribumi dipimpin oleh kepala-kepala divisi dari kaum keluarga keraton Palembang (Hanafiah, 1998: 87-88).
Walaupun pejabat pribumi masih dilibatkan dalam pemerintah kolonial Belanda,  namun itu tidak mencegah perlawanan-perlawanan yang terjadi di daerah pedalaman, khususnya daerah Sindang. Banyaknya perlawanan yang terjadi di daerah pedalaman, membuat pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1850 memecat Pangeran Kramajaya dari jabatannya sebagai perdana menteri di ibukota. Pemerintah kolonial Belanda menuduh Pangeran Kramajaya sebagai penggerak perlawanan yang banyak terjadi di daerah Pedalaman (Faille, 1971: 51-53). Setelah pemecatan Pangeran Kramajaya sebagai perdana menteri, sistem indirectbestuur dihapuskan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemecatan Pangeran Kramajaya dan banyaknya perlawanan yang terjadi di daerah sindang menimbulkan kesadaran bagi pihak kolonial, bahwa dengan berhasil ditaklukannya Kesultanan Palembang di ibukota dan daerah kepungutan, bukan berarti wilayah Sindang bisa untuk langsung menerima kekuasaan kolonial Belanda (Zed, 2003:49).
Setelah penghapusan sistem indirectbestuur, tahun 1852, asisten residen di Tebing Tinggi, J.F.R.S. van den Bossche, diserahi tugas untuk melakukan kodifikasi atas hukum adat di daerah pedalaman. Dari usaha tersebut ia menemukan bahwa di pedalaman, tiap-tiap daerah memiliki rincian adat yang berbeda. Tidak praktis untuk melakukan kodifikasi secara umum yang dapat diberlakukan di seluruh Keresidenan Palembang. Dapat dikatakan bahwa adat yang ada berbeda atau diinterpretasikan dengan cara yang berbeda di mana-mana. Apabila hukum adat ingin dipakai sebagai alat yuridis, maka perlu diadakan unifikasi (Peeters, 1997: 89-90).
Sebagai tindak lanjut adalah dengan menciptakan kodifikasi baru. Untuk tujuan ini, maka diadakanlah rapat dengan para pasirah. Hasil rapat itu adalah sebuah rancangan yang diberi nama “Undang-Undang Simbur Cahaya”. Setahun setelah itu, hasil dari usaha tersebut yang disusun dalam bahasa Melayu diajukan kepada Residen Palembang yang akan digunakan oleh para pegawai pemerintah kolonial Belanda dan para pasirah. Pada saat itu, hasil kodifikasi tersebut disebut juga dengan “Hukum Adat yang Umum Dipakai di Uluan Palembang.” Di dalam hasil kodifikasi itu, terdapat lima bab aturan adat yang diberlakukan di seluruh wilayah pedalaman Palembang. Kelima bab tersebut adalah (1) “Adat Perhukuman”, (2) “Aturan Kaum”, (3) “Aturan Dusun dan Berladang”, (4) “Aturan Marga”, dan (5) “Adat Bujang Gadis dan Perkawinan” (Barlian, 2001: 99-101).
Usaha kodifikasi itu juga berjalan seiring dengan perubahan administratif Palembang. Para kepala divisi di pedalaman Palembang, yang tugasnya sebagai perantara antara pasirah dan kontrolir dihapuskan dengan keputusan pemerintah pada 13 Juni 1864. Penghapusan para kepala divisi ini merupakan dampak dari perlawanan yang terus terjadi di daerah pedalaman. Selain itu juga pemerintah kolonial Belanda menganggap kepala-kepala divisi itu sebagai penyebar Islam yang fanatik dan  berbahaya di tengah penduduk yang masih belum menerima penuh kekuasaan pemerintah kolonial (Peeters, 1997: 79)
Perlawanan-perlawanan di pedalaman mulai bisa diamankan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda pada pertengahan abad ke-19. Tercatat, perlawanan terakhir terjadi di wilayah Pasemah dan berhasil ditaklukan pada 1866. Melalui keputusan Pemerintah pada tanggal 22 Juli 1867, akhirnya Pasemah Sindang Mardika dihapuskan dan wilayah Pasemah dimasukkan ke dalam Onderafdeeling Lematang Ulu (Mahruf, 1999:100). Setelah itu, wilayah Palembang terbagi menjadi sembilan afdeeling yang terdiri dari Ibukota Palembang, Tebing Tinggi, Ogan-Komering Ulu dan Enim, Lematang Ulu dan Ilir, Rawas, Musi Ilir, Ogan Ilir, dan Komering Ilir serta Iliran dan Banyuasin (Hanafiah, 1998: 91 “mengutip dari Regeering Almanak 1870”).
Marga-marga yang merupakan unit administraf terkecil dalam pemerintahan kolonial, sempat dihapuskan pada tahun 1875. Posisi pasirah digantikan dengan “Dewan Kepala Bumiputra” yang dipilih langsung oleh masyarakat dusun setempat. Pemerintah kolonial Belanda menganggap sistem marga terlalu kecil untuk dijadikan satu kesatuan daerah hukum teritorial yang berdiri sendiri, dan terlalu besar untuk dijadikan daerah administratif. Kebijakan ini juga merupakan bentuk usaha pemerintah kolonial untuk melakukan penetrasi sampai ketingkat dusun di daerah marga (Syawaludin, 2010:70).
Kekuasaan pesirah di setiap marga juga menjadi landasan pemerintah kolonial untuk menghapuskan sistem marga. Pasirah merupakan figur sentral yang tiada bandinganya di tingkat marga. Konsolidasi kekuasaan kolonial Belanda, yang pada masa awal pemerintahan masih sebatas Ibukota Palembang, membuat kedudukan pasirah semakin kuat. Dengan dihapuskannya marga, pemerintah kolonial Belanda berharap dapat berhubungan langsung dengan pejabat-pejabat baru (Dewan kepala Bumiputra) ciptaanya. Namun kebijakan penghapusan marga tidak dapat berjalan sepenuhnya. Sehingga sistem marga dihidupkan kembali pada tahun 1884 (Zed, 2003:54-55).
Sistem marga yang dianggap pemerintah kolonial bersifat tradisional, dicoba untuk dihapuskan karena dianggap akan menjadi penghalang bagi berkembangnya sistem modern. Untuk hal ini, secara politisi perubahan dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda berupa hal otonomi dan prinsip dari masing-masing marga. Marga yang dalam hal otonomi didasarkan pada prinsip etnis, kesukuan dan genelogis diubah menjadi otonomi yang bersifat teritorial. jadi dalam cara pandang baru ini, marga-marga tidak dibiarkan hidup terpisah satu sama lain menurut selera sukunya masing-masing (Irwanto dkk, 2010:28).
Penggabungan marga-marga yang bersifat teritorial ini dapat dilihat dari penyusutan jumlah marga yang terjadi di Pedalaman Palembang. Pada 1870, masih terdapat sejumlah 222 marga, sedangkan pada 1910 jumlah itu telah berkurang menjadi 180 marga. Selain terjadi pembentukan kesatuan masyarakat teritorial, penggabungan tersebut juga memaksa persaingan potensial yang dapat mengarah kepada konflik politik tingkat lokal antar bekas pasirah berikut para pendukung masing-masing dari marga-marga yang ada sebelum penggabungan (Zed, 2003:53).
(jumlah marga di Keresidenan Palembang lihat pada halaman lampiran)
Potensi konflik internal itu ada karena mengingat bahwa marga-marga bermula dari kesatuan masyarakat geneologis. Dalam masyarakat seperti ini, yang menjadi dasar pengikat kolektifitas penduduk adalah poyang. Masing-masing penduduk mengidentifikasikan diri pada hubungan darah dengan poyang. Marga-marga yang bersifat geneologis masing-masing memiliki poyang yang membuka permukiman pertama kali di tempat itu. Oleh karena itu, dapat dimaklumi bila pasirah yang dipilih pertama kali untuk memimpin marga hasil penggabungan itu adalah keturunan langsung poyang dan dapat dimaklumi pula bila masih terdapat suara-suara yang menyatakan ketidak setujuan dari pihak yang berlainan poyang (peeters, 1997:219).
Para pasirah adalah orang-orang yang dipercaya untuk menyampaikan segala urusan dan keberatan rakyat kepada pemerintah kolonial. Bagi pemerintah kolonial sendiri, para pasirah adalah orang yang dipercayakan untuk menyampaikan segala urusan ke dusun-dusun. Mereka semacam the middle man yang telah digaji tetap dan memiliki seragam. Dalam kekuasaan untuk mengurusi otonomi marga, mereka tampak sebagai seorang raja di mata rakyat masing-masing. Kewibawaan mereka masih diperhitungkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Untuk menarik hati para pasirah, pemerintah kolonial Belanda juga memberikan penghargaan berupa gelar pangeran kepada para pasirah yang telah dianggap berjasa kepada pemerintah kolonial. (Hidayah, 1993:47).
Sejalan dengan itu, Irwanto (2010:25) berpendapat, setelah pemerintah kolonial Belanda menghapuskan Kesultanan Palembang pada 1825 sampai dengan tahun 1900-an, mereka masih berusaha menata kehidupan berpolitik dan ekonomi di Keresidenan Palembang. Artinya, sebelum tahun 1900-an, daerah-daerah pedalaman, khusunya uluan (sindang) dari Keresidenan Palembang masih merupakan wilayah yang “belum” terjamah secara penuh oleh pemerintah kolonial. Kontrolir yang ada di pedalaman hanya masih bersifat sebagai pengawas saja, belum bertindak sebagai pelaksana. Pengawasan ini dalam hal pengontrolan terhadap pembesar-pembesar bekas Kesultanan Palembang atau pada para wakil Kesultanan Palembang yang merupakan suatu usaha pencegahan terhadap pengaruh supaya jangan tertanam di dalam penduduk pedalaman, untuk membangkitkan kembali kekuasaan pembesar Kesultanan Palembang yang lari ke pedalaman. Bahkan, birokrasi pemerintah kolonial Belanda di Palembang tidak pernah sampai ke tingkat dusun di daerah pedalaman.
Pada tahun 1912 pemerintah kolonial Belanda menjalankan sistem districtbestuur. Sistem administrasi pemerintah yang tertuang dalam Staatblad no. 233 tahun 1912 itu berisi pembagian wilayah-wilayah pedalaman Palembang ke dalam distrik-distrik. Dalam setiap distrik, terdapat onderdistrik-onderdistrik yang membawahkan marga-marga. Setiap distrik dikepalai oleh seorang pejabat pribumi yang disebut dengan demang, sedangkan onderdistrik dikepalai oleh seorang asisten demang. Mereka yang diharapkan dapat berhubungan langsung dengan para pasirah dan penduduk marga untuk kepentingan-kepentingan pemerintah yang menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial Belanda dan sumber daya alam pada tingkat marga (Alfian, 1983/1984: 58).
Birokrasi pemerintah kolonial Belanda baru efektif menerobos daerah pedalaman justru setelah 1912 ketika pemberlakuan sistem districtbestuur yang mulai menandai keterciptaan suatu “integrasi” daerah pedalaman (kepungutan dan sindang). Baik demang maupun asisten demang, tergabung ke dalam korps pegawai pemerintahan kolonial Belanda. Mereka adalah pejabat administratif tertinggi yang dipegang oleh pribumi dan bertanggung jawab kepada kontrolir sebagai pejabat administatif terendah yang dipegang oleh bangsa Eropa. Keberadaan pegawai-pegawai birokrat pribumi ini lebih lanjut dikatakan sebagai tanda kemunculan dualisme dalam struktur birokrasi pemerintah Belanda di Keresidenan Palembang. Sebelum itu, meski sempat ada para kepala divisi yang terdiri dari orang-orang pribumi, pegawai-pegawai yang mengepalai unit administrasi adalah para pejabat Belanda yang dikenal sebagai Binnenland Bestuur (BB). Setelah 1912, mulailah dikenal inlandsche bestuur (IB) yang terdiri tidak hanya dari demang dan asisten demang. (Zed, 2003: 57-58).
            Pada tahun 1919, dengan dikeluarkannya Staatblad No. 814 tahun 1919, marga di Palembang ditetapkan menjadi satu kesatuan pemerintahan yang terendah di Keresidenan Palembang (Indlandsche Ordonantie). Peraturan dalam marga adalah sebagai berikut :
1.      Marga adalah masyarakat hukum adat berfungsi sebagai kesatuan wilayah pemerintah terdepan dalam rangka pemerintah Hindia Belanda dan merupakan badan hukum di Hindia Belanda.
2.      Marga berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum adat.
3.      Susunan pemerintah marga yang terdiri atas kepala marga, dan kepala-kepala adat yang duduk dilembaga dewan marga lainnya, biasanya bentuk dan susunan pemerintahan ditentukan menurut hukum adat.
4.      Pemerintahan marga didampingi dewan marga yang membuat peraturan-peraturan dalam rangka kewenangan menurut hukum adat. (Abdullah dkk, 1984/1985:51).

Peraturan-peraturan marga harus disahkan oleh instansi atasan sebelum berlaku dan diumumkan.
Marga membuat peraturan sendiri dan melaksanakan sendiri peraturannya. Peraturan ini dijalankan di
bawah pengawasan instansi atasan, yakni kepala onderafdeeling yang dijabat orang Belanda disebut
controleur yang dibantu oleh ambtenar-ambtenar yang dijabat orang bumi putera yaitu demang yang membawahi dua atau tiga orang asisten demang. Pada tingkatan yang lebih tinggi, dua atau lebih wilayah onderafdeeling dijabat seorang asisten residen sebagai kepala afdeeling yang membawahi dan mengawasi para kontrolir atas nama residen sebagai kepala keresidenan (Irwanto dkk, 2010:19).

Seiring dengan diberlakukannya (Indlandsche Ordonantie) tersebut, pada tingkat marga dibentuk pula dewan-dewan marga (Margaraden). Tujuan pembentukan dewan ini adalah untuk mengendalikan segala kepentingan rumah tangga marga. Dewan marga beranggotakan 26 orang yang terdiri dari seorang pasirah, seorang pembarap, delapan belas orang kerio (proatin), dan enam belas orang anggota pilihan yang dianggap memiliki perhatian atas kemajuan-kemajuan di dalam marga. Dewan marga memiliki wewenang untuk, (1) menetapkan anggaran belanja dan perhitungan anggaran, (2) membuat peraturan-peraturan yang dalam pelaksanaan dapat membebankan kewajiban keuangan kepada penduduk marga atau justru dewanlah yang memikul kewajiban tersebut, dan (3) menetapkan peraturan-peraturan marga berikut sanksi bagi yang melanggar peraturan-peraturan tersebut (Hanafiah, tt.:45)
Dengan disahkannya marga sebagai Indlandsche Ordonantie oleh pemerintah kolonial Belanda, itu berarti marga semakin berada di bawah pengaruh pemerintahan kolonial Belanda. Pada tahun  1923 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan “aturan pengadilan asli di tanah seberang” (Regeling Van De Imheemsche Rechstpraak Buitengewesten). Di Keresidenan Palembang, aturan pelaksanaannya diatur dengan Besluit Residen Palembang tanggal 23 Oktober 1933 No. 803. Dengan adanya aturan pelaksanaan ini, maka rapat di daerah Pedalaman Palembang dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu:
1.      Rapat Marga, yang dipimpin oleh Pasirah atau kepala marga
2.      Rapat Kecil
3.      Rapat Besar, yang dipimpin oleh kepala onderafdeeling atau oleh pejabat pemerintah Belanda yang ditunjuk oleh residen (Ismail, 2004:37).
Untuk dapat memasukkan daerah pedalaman ini ke dalam sistem  pemerintahan kolonial Belanda, pemerintah kolonial terlihat sangat berhati-hati untuk dapat  menerobos sistem tradisional tersebut. Sampai dengan berakhirnya masa keresidenan, sistem pemerintahan di pedalaman Palembang terlihat dijalankan secara dualistik, yaitu disatu sisi mereka menerapkan hukum negara, namun pada sisi lain mereka tetap mengakui adanya hukum adat. Sumber aturan di Keresidenan Palembang yang dualistis ini, secara kasat mata, tergambar sebagai berikut:
1.      Mengikuti dari sumber hukum yang berasal dari gubernur (pusat), misalnya dasar hukum di Hindia Belanda
2.      Mengikuti sumber hukum sendiri, aturan adat. Adat ini menitik beratkan pada pemutusan perkara yang didahului dengan rapat marga atau rapat dusun (Irwanto dkk, 2010:22).

1 komentar:









  1. Apakah anda termasuk dalam kategori di bawah ini !!!!


    1"Dikejar-kejar hutang

    2"Selaluh kalah dalam bermain togel

    3"Barang berharga anda udah habis terjual Buat judi togel


    4"Anda udah kem***-m*** tapi tidak menghasilkan solusi yg tepat


    5"Udah banyak Dukun togel yang kamu tempati minta angka jitunya
    tapi tidak ada satupun yang berhasil..







    Solusi yang tepat jangan anda putus asah... KI JAYA WARSITO akan membantu
    anda semua dengan Angka ritual/GHOIB:
    butuh angka togel 2D ,4D, 6D SGP / HKG / MALAYSIA / TOTO MAGNUM / dijamin
    100% jebol
    Apabila ada waktu
    silahkan Hub: KI JAYA WARSITO DI NO: [[[085-321-606-847]]]


    ANGKA RITUAL: TOTO/MAGNUM 4D/5D/6D


    ANGKA RITUAL: HONGKONG 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; KUDA LARI 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; SINGAPUR 2D/3D/4D/



    ANGKA RITUAL; TAIWAN,THAILAND



    ANGKA RITUAL: SIDNEY 2D/3D/4D
    DAN PESUGIHAN TUYUL

    BalasHapus